HASIL KULIAH LAPANGAN
KEKUASAAN DALAM DUNIA MEDIS
Nurmalita Sari
No. Absen : 44
- A. HASIL WAWANCARA
Tiba di daerah penelitian kedua selain Nggeblak yakni kurang lebih pukul 10.30 WIB bertempat di sebuah posyandu bernama “Sekar” di Padukuhan Grujugan, Desa Tegaldowo yang terdiri dari masing-masing 5 RT. Penelitian yang saya lakukan khususnya berada di wilayah Padukuhan Grujugan yang terdiri dari 5 RT yang letaknya tidak jauh dari Desa Observasi Nggeblak. Wilayah yang di observasi saya khususkan di RT 01. Di Padukuhan Grujugan terdapat 34 KK. Selama perjalanan menuju Padukuhan Grujugan, sekeliling desa masih asri dan dipenuhi persawahan dan bukit, sangat jauh dari hiruk pikuk kota Bantul, yang terlihat hanyalah kegiatan para petani yang tengah memanen padi di sawah.
Sesampainya di TKP, kami semua disambut dengan hangat oleh warga setempat, kemudian diperi penjalasan oleh Pak Dukuh mengenai wilayah Grujugan dan kesehatan masyarakat setempat secara umum, dimana pada tahun 1997 Padukuhan Grujugan sempat menjadi juara ke 2 TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Puskesmas terdekat dari padukuhan Grujugan adalah Puskesmas di Desa Nggeblak.
Beberapa saat setelah penjelasan, kami semua memulai untuk melakukan observasi keliling padukuhan untuk mencari responden, dimana saya memilih untuk mengobservasi mengenai fenomena “Dukun Bayi dan Perawatan Pasca Melahirkan” dipandu oleh Ibu Dinah (45 tahun) yang telah bersiap untuk diminta keterangan perihal dukun bayi dan perawatan persalinan. Beliau adalah salah seorang kader Posyandu yang juga menjadi responden pertama saya. Dukun bayi saya batasi dengan pengertian seseorang dengan kemampuan, keahlian baik turun temurun maupun tidak, dapat membantu jalannya proses persalinan, yang kemudian memakai remuan herbal sebagai obat penyembuhan persalinan ataupun jampe-jampe. Observasi yang dilakukan, menggunakan teknik snowball dimana menjaring satu responden terlebih dahulu yang kemudian menjaring responden lain melalui informasi dari responden peendahulu dalam hal ini Ibu. Dinah, dimana kriteria responden telah ditentukan sebelumnya. Selain itu poin-poin pokok pertanyaan juga telah disusun sebelumnya sebagai pathokan alur wawancara meliputi 5W+1H yang jawabannya terangkum dalam hasil wawancara dibawah ini.
Terdapat empat responden yang akan dijaring yakni ibu muda yang baru saja melahirkan, seorang ibu setengah baya dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia, dengan harapan tiga responden yang berbeda usia dapat mewakili jawaban dari ibu-ibu yang seumur dengan responden yang telah dikelompokkan menurut usia. Satu responden lagi sebagai tambahan dan pelengkap dari keingintahuan lebih lanjut pada jawaban responden sebelumnya yakni dipilih seorang Pak Dukuh setempat dengan harapan pengetahuan akan masayarakat desa setempat lebih banyak.
Peralatan yang digunakan antara lain dashboard, alat tulis, handphone untuk video, kamera dan alat perekam suara agar dalam proses pembuatan laporan tidak kesulitan untuk menerjemahkan kata-kata lokal yang kurang dimengerti akibat kesulitan bahasa.
Sambil berkeliling mencari responden yang akan menjadi sasaran observasi, saya sempat bertanya pada Bu. Dinah mengenai keberadaan posyandu. Menurut penuturan beliau keberadaan posyandu di Padukuhan Grujugan kira-kira sudah 20 tahun semenjak beliau masih muda. Ketika ditanya mengenai permulaan kemajuan posyandu di desa tersebut, beliau menuturkan baru sekitar tahun 90-an, banyak petugas kesehatan yang masuk, posyandu di padukuhan ini mulai terlihat geliatnya. Sekarang ini terdapat 12 orang termasuk Ibu. Dinah sebagai pengurus atau kader posyandu. Posyandu ini juga melakukan pemeriksaan ibu dan bayi pasca kelahiran meliputi penimbangan badan dan pemberian Vitamin A. Hal ini dilakukan untuk melihat progres kesehatan bayi. Setiap data yang masuk akan segera diolah dan dilaporkan pada puskesmas setempat untuk ditindaklanjuti.
Responden pertama, Ibu. Dinah (45 tahun), memiliki dua orang anak, yang pertama lahir di tahun 90-an akhir dan anak kedua lahir di tahun 1997 akhir. Proses wawancara dengan Bu. Dinah berlangsung dengan lancar karena dapat menjawab dan memahami dengan Bahasa Indonesia walaupun terkadang berampur dengan Bahasa Jawa.
Proses persalinan kedua anaknya berjalan secara normal. Menurut penuturan beliau, di tahun 90-an ketika ia akan melahirkan anak pertamanya belum banyak bidan di desanya bahkan di sekitar Padukuhan Grujugan. Dahulu menurutnya, orang-orang masih menggunakan dukun bayi. Walaupun ada bidan, itu juga sulit di dapat. Maka dari itu, ketika melahirkan anak pertamanya, ia memakai jasa dukun bayi dimana juga ada bidan saat persalinan, namun bidan saat itu hanya sebagai orang yang mendampingi keberadaan dukun bayi yang menjadi aktor utama. Selain itu, bidan juga sangat jarang untuk dijumpai sehingga jarang pula ibu-ibu yang melairkan dengan menggunakan jassa bidan.
Menurut beliau, saat itu tidak merasa takut melahirkan menggunakan jasa dukun bayi, karena melahirkan hanya masalah proses mengeluarkan bayi dalam rahim, tidak ada kegiatan medis yang khusus ataupun teknik-teknik media lainnya, sehingga tinggal bagaimana menunggu bayi keluar dari perutnya. Bayaran untuk dukun bayipun sangat amat terjangkau atau bisa dikatakan seikhlasnya “monggo kerso”. Tidak heran banyak orang memilih menggunakan jasa dukun bayi (sebelum ada program Jamkesmas dan Jamkesos). Saat ini biaya persalinan dengan jasa bidan juga sudah mulai mahal sekitar delapan ratus ribuan keatas.
Pada persalinan anak keduanya yang lahir ditahun 1997 akhir, Ibu. Dinah menggunakan jasa bidan. Saat ditanya alasannya, beliau menuturkan bahwa ia hanya mengikuti perkembangan jaman saja karena beliau sudah merasa takut jika terdapat hal yang tidak diinginkan, karena sudah terdapat bidan, maka ia menggunakan bidan. Selain itu dukun bayi yang ada di satu RT dengan beliau yakni Mbah. Durahmadi yang kini berusia 75 tahun memiliki sifat yang kurang menyenangkan, sehingga ia tidak memakainya lagi (bukan untuk persalinan tapi untuk pijat).
Pada kelahiran anak pertama yang lahir 90-an, proses pemutusan tali pusar dilakukan dengan menggunakan bambu yang sudah dicuci dengan air hangat, menurutnya itu sakit tapi ya tetap biasa saja. Sedangakan anak kedua sudah memakai peralatan medis seperti alkohol dan sebagainya. Pada pasca persalinan anak pertama, beliau menuturkan bahwa lepasnya ari-ari si kecil sekitar 4 hari setelah ia lahir sedangkan anak kedua 6 hari setelahnya. Beliau juga menyatakan bahwa obat dari dukun sebenarnya lebih cepat bereaksi dan manjur daripada dari bidan. Selain itu menurutnya, pada saat ia melahirkan tahun 90-an, bukan orang yang hamil datang ke bidan, puskesmas atau rumah sakit, tapi orang-orang ahli tersebut yang datang ke rumah orang yang akan melahirkan, menurutnya ini sudah menjadi hal yang biasa bagi warga Grujugan. Tapi semenjak berkembangnya zaman, banyak tenaga medis, dan masuk ke desa-desa, banyak tempat bersalin yang sudah modern, banyak orang yang akan melahirkan justru yang harus menghampiri tempat tersebut. Ini dikarenakan dulu rumah memang tempat yang paling nyaman dan murah meriah. Pada saat kehamilan anak pertama dan kedua, cek kontrol kehamilan selalu rutin dijalankan namun kegiatan seperti senam ibu hamil yang banyak dilakukan oleh ibu hamil sekarang ini, bahkan USG tidak pernah.
Pasca melahirkan, Ibu. Dinah juga memijatkan bayi “ndadah bayi” pada dukun bayi. Menurut beliau, sebenarnya “ndadah bayi” tidak wajib dilakukan, tapi untuk kebutuhan dan seperlunya saja. Bagi siapa yang mau melakukan itu baik, tapi tidak melakukan juga tidak masalah. Untuk pemulihan kesehatannya sendiri, beliau sering minum jamu, karena jamu ternyata juga menambah deras ASI. Khusunya jamu pahit daun pepaya.
Responden kedua, Ibu. Ambar (34 tahun) yang merupakan warga pendatang, seorang Ibu rumah tangga yang baru melahirkan seorang anak perempuan bernama Ganis 5 bulan yang lalu. Ganis merupakan anak kedua dari pasangan Ibu Ambar dan Pak Suyatman (35 tahun). Ganis memiliki seorang kakak perempuan berumur 9 tahun. Saat ditemui di rumahnya yang tidak jauh dari Posyandu Sekar, Ibu. Ambar sedang menggendong bayinya di depan rumah dan menemani anak perempuan pertamanya bermain.
Menurut Ibu. Ambar, kedua anaknya lahir menggunakan jasa bidan. Anak pertamanya di lahirkan di rumah bidan yang terdapat di daerah Sewon pada tahun 2003, sedangkan anak keduanya, persalinan dilakukan di rumah sakit. Alasan persalinan anak kedua lebih memilih di rumah sakit, karena beliau sudah memiliki Jampersal (untuk persalinan), sehingga sayang jika tidak digunakan. Semua hal seperti kontrol, cek kehamilan dilakukan dengan biaya gratis di puskesmas dan rumah sakit, kecuali USG yang dilakukan di Dokter dengan inisiatif sendiri bersama suami.
Ibu. Ambar ini adalah orang yang lebih mempercayai tenaga medis modern seperti bidan dan dokter di rumah sakit dan memilih untuk tidak melahirkan di rumah apalagi menggunakan dukun bayi karena takut ada hal yang tidak diinginkan dengan kandungannya, sehingga beliau tidak mempercayai keahlian dukun bayi. Saat hamil, beliau lebih sering melakukan cek ke puskesmas daripada ke dokter karena tidak mampu membiayai. Saat itu Ibu. Ambar menceritakan pengalamannya cek up ke puskesmas bahwa, kata bidan di puskesmas, bayinya yang kedua ini akan lahir kurus dan kecil, sehingga beliau dan suami merasa ketakutan apabila terjadi hal yang mengerikan. Dengan inisiatif sendiri dan suaminya, mereka baru memeriksakan untuk pergi USG ke dokter. Hal ini bukan merupakan anjuran dari puskesmas tapi inisiatif dari Ibu. Ambar dan Pak Suyatman karena terlalu khawatir, dan setelah USG, dokter mengatakan tidak ada masalah. Masa kehamilan Ganis, Ibu Ambar hanya melakukan cek kontrol kehamilan seperti halnya ibu-ibu hamil lainnya tapi tidak dengan senam ibu hamil.
Pasca melahirkan yang dilakukan untuk Ganis hanyalah “ndadah” atau pijat bayi dengan memakai jasa petugas kesehatan keliling dimana petugas kesehatan tersebut telah dilatih sebelumnya yang diadakan oleh puskesmas. Pijat bayi, ini biasa dilakukan dua minggu sekali dengan biaya 50.000 rupiah selama 7 kali. Sama halnya dengan Ganis, Ibu Ambar juga melakukan pijat urut memakai jasa petugas kesehatan yang sama pula untuk pemulihan kesehatan pasca kelahiran anak keduanya tersebut. Selain melakukan pijat urut, Ibu. Ambar juga meminum jamu-jamuan, jamu daun pepaya dan “uyup-uyup” agar ASI lancar, namun jika obat yang diberikan dari rumah sakit setelah proses kelahiran telah habis.
Petugas kesehatan tersebut adalah orang biasa atau orang-orang di desa tersebut yang mulanya merupakan orang yang bisa atau memiliki keahlian memijat ataupun sama sekali tidak, untuk ikut dan mendaftar program dari puskesmas yang memberikan pendidikan dan pelatihan bagi 11 orang warga Sewon. Bahkan ada beberapa warga yang diusulkan oleh warga setempat untuk menerima pelatihan termasuk Mbah. Durahmadi (dukun bayi RT 1). Dari ke 11 orang yang ikut ternyata hanya 2 orang yang lulus dengan baik. Mbah Durahmadi yang dulunya merupakan dukun bayi dan pijat sebeanrnya juga diusulkan oleh Pak Dukuh untuk menerima pendidikan dan pelatihan, namun umur Mbah. Durahmadi sudah menginjak usia senja, sehingga mbah durahmadi pun juga tidak bersedia.
Pijat urut yang dilakukan oleh Ganis, biasanya hanya dilakukan selama 10 menit. Bu. Ambar mengatakan bahwa jika yang biasanya Ganis selalu rutin untuk pijat, dan kemudian selanjutnya tidak (tidak berkelanjutan), bayi Ganis sering menangis. Pijat urut dilakukan seminggu sekali setiap Hari Sabtu. Ganis melakukan pijat urut dari usia 10 hari sampai sekarang. Persalinan Ibu. Ambar dari anak pertama hingga kedua semua berjalan secara normal.
Responden ketiga, Ibu. DullahHadi (75 tahun). Saat ditemui di rumahnya, beliau tengah membersihkan dengan menyapu halaman depan rumah. Sangat ramahnya beliau menerima kedatangan kami membuat kami tidak begitu sungkan untuk bertanya-tanya karena beliau termasuk wanita yang sudah memasuki usia senja dimana masa ini untuk melakukan sebuah wawancara cukup sulit, namun ternyata dengan gaya humorisnya beliau, saya dapat bertanya-tanya dengan lebih santai. Selain itu dalam proses wawancara dengan beliau, saya harus menggunakan setidaknya bahasa jawa ngoko jika bahasa kromo belum fasih, karena beliau sedikit kurang mengerti dengan bahasa indonesia.
Ibu. Dullah Hadi memiliki 6 orang anak, tiga orang putri dan tiga orang putra. Anak pertama lahir ditahun 1955 sedangkan anak paling kecil lahir ditahun 1976 dan semua anaknya telah menikah. Proses kelahiran keenam anaknya dilakukan secara normal. Beliau mengatakan bahwa semua proses kelahiran anaknya menggunakan jasa dukun bayi, karena jaman dimana proses kehamilan dan kelahiran anak-anaknya sangat jarang ditemui adanya bidan dan dokter di lingkungan sekitarnya. Dukun bayi didatangkan ke rumah langsung untuk membantu proses persalinan. Tidak seperti sekarang dimana seorang ibu hamil harus langsung datang ke rumah bersalin apabila terjadi kotraksi.
Beliau menjelaskan bagaimana ia mendeteksi selama 6 kali berturut-turut ketika akan melahirkan, apabila merasa perutnya telah cukup membesar, terasa nyeri pada perut, pegal di punggung, maka ia sudah merasa bayi akan lahir.
“anggre kroso loro-loro, gegere pegel, nyeri-nyeri weteng, bayine njuk mlayu”
Maksud “mlayu” disini adalah bukan berlari, namun keluar dari peut.
Selain itu, jikalaupun ada, beliau tetap mengatakan untuk memilih dukun bayi sebagai orang yang diinginkan untuk membantu proses persalinan, karena biaya untuk meminta jasa dari dukun lebih murah dan mudah.
“ning dukun thithik ragadte, ming sak karepe, nek dukun 5 sen”
Selain itu, bleliau juga menggambarkan bahwa pembayaran tidak hanya dilakukan dengan uang, tapi masyarakat dulu suka memberikan apa yang disebut beliau sebagai “abon-abon” atau kita kenal dengan sumbangan bahan-bahan pokok yang biasanya diperlukan.
“ mbayare ngge abon-abon, beras, gulo, teh, kinang, njuk mbayare dewe, babaran, puputan, selapanan”
Maksudnya adalah, diberikan saat dan sebagai upah untuk jasa setelah persalinan, anak beranjak besar dan delapan bulan. Ini merupakan tradisi turun temurun yang sekarang sudah jarang bahkan hampir tidak ada lagi.
Beliau mengatakan bahwa dulu keberadaan dukun bayi juga tidak banyak, bahkan beliau juga tidak memakai jasa Mbah. Durahmadi yang tenar sebagai dukun bayi, yang keberadaanya hanya satu-satunya di padukuhan Grujugan, karena pada masa persalinan anak-anaknya, mbah. Durahmadi belum menjadi seorang dukun bayi. Menurut beliau orang sekarang tidak lagi mau ke dukun, selain sangat jarang bahkan sulit ditemukan, orang-orang juga takut bila harus melahirkan melalui dukun karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menurutnya dukun bayi yang ada merupakan dukun asal dukun, bukan dukun seperti layaknya memakai sesaji, namun orang yang dianggap memiliki kemampuan, tahu dan bisa membantu proses persalinan sehingga diberikan julukan dukun bayi. Lain halnya dengan dukun bayi yang sekarang, yang telah terlatih (baca: bidan)
Masa kehamilan semua anak-anak beliau dijalani dengan santai, bahkan tidak ada kegiatan khusus yang harus dijalani seperti kebanyakan ibu-ibu hamil sekarang, seperti makan makanan bergizi empat sehat, minum susu, senam ibu hamil, istirahat cukup, konsultasi ke dokter harus dua minggu sekali dsb, namun ternyata beliau tetap menjalani kegiatan seperti “macul, matun, ndaut”, dan saat persalinanpun tidak merasakan hal-hal yang menyulitkan karena kegiatannya ini. Penjelasan beliau bahwa masyarakat sekarang banyak kegiatan dan banyak ragam penyakit atau kejadian yang dialami saat kehamilan. Beliau juga heran karena ibu-ibu jaman sekarang cara persalinannya begitu repot dan “aneh-aneh”, karena pernah ada tetangga beliau yang melahirkan bayi sungsang baru-baru ini.
“pas meteng mangane nggih ming godhong-godhongan, bung, gori, ra koyo sakniki endhok-endhok, iwak-iwak”.
Saat kehamilan, makanan yang dimakan oleh beliau adalah sayur mayur yang dipetik dari kebun, dan seadanya tidak seperti sekarang yang sudah banyak tuntutan untuk makan-makanan beserta lauk-pauk.
Saat ditanya mengenai bagaimana proses setelah bayi keluar dari perut, beliau menjelaskan bahwa pemutusan tali pusar yang biasa dilakukan oleh dukun bayi adalah dengan menggunakan bambu tipis yang telah dicuci bersih, kemudian bagian yang terkena darah diolesi dengan puyang dengan anggapan bahwa puyang dapat menghilangkan bau amis, selain puyang, dukun bayi juga menggunakan resep olesan cabe, agar bagian yang terasa sakit bisa terasa tidak sakit karena diredam oleh panas cabe. Masyarakat dulu juga memakai “omah tawon” yang kemudian diremas dan dioleskan pada “ari-ari” bayi yang baru saja dipotong agar tidak sakit dan cepat putus dari pusar sang bayi. Menurut beliau, menggunakan cara-cara seperti ini dibolehkan, namun sekarang sudah tidak dibolehkan lagi.
Pasca kehamilan, sama seperti yang dilakukan dua responden sebelumnya, yakni melakukan pijat bayi atau dikenal dengan nama “ndadah bayi” yang dilakukan seminggu sekali sampai delapan bulan kemudian, ini bukan merupakan kemauan si dukun bayi, tapi memang masing-masing orang tua menginginkan bayinya untuk dipijat. Menurut beliau, dulu semua anaknya tidak ada yang menjalani kontrol atau cek kesehatan setelah lahir karena memang jauhnya dari pusat kesehatan, jarangnya bidan atau dokter, bahkan tidak ada posyandu seperti sekarang yang begitu aktif berjalan di setiap pedukuhan,. Jika sakit, beliau hanya menggunakan obat-obatan alami seadanya.
Diakhir wawancarasaya sempat menanyakan alasan memiliki banyak anak hingga enam anak, seperti kita ketahui bersama bahwa bagaimana proses persalinan begitu sakit dan perih, tapi orang-orang jaman dulu banyak yang memiliki anak lebih dari lima orang, berbeda dengan sekarang yang takut dengan banyak anak bahkan takut untuk melahirkan. Menurut beliau memiliki banyak anak adalah hal yang menyenangkan, selain tidak ada yang mengingatkan untuk membatasi jumlah anak seperti KB, banyak anak akan membawa rezeki tersendiri.
“kulo ming tengak tenguk ngoten we, do ngeteri duit, ngeteri lawuh, pangan, teri wedang. Siji ra ngeteri, siji ngeteri”.
Maksudnya kenikmatan menurut beliau ini adalah kenikmatan dihari tua, banyak anak memperhatikannya dengan sering memberi uang, makanan, dimana jika satu anak tidak memberikan, anak yang lain memberikan, dan ini diterima dari anak-anaknya secara bergantian.
Responden keempat, Pak. Ponidi (56 tahun). Pak. Ponidi adalah seorang Kepala Dukuh di wilayah observasi berlangsung yakni di Padukuhan Grujugan. Beliau telah menjabat sebagai dukuh sejak tahun 1990. Tidak heran jika beliau ini sangat lama menjadi Dukuh karena memang keberaniannya membela masyarakat sekitar seperti dalam keberaniannya menuntut pemerintah jika dalam kepemilikan JAMKESMAS dipersulit, dalam arti masih harus membayar ketika berobat atau melakukan persalinan di rumah sakit. Beliau memiliki tiga orang anak dan empat cucu. Anak pertama lahir tahun 1978 dan anak terakhir lahir di tahun 1982. Saat ditemui, beliau sedang duduk-duduk santai di teras rumahnya, sehingga bisa lebih nyaman untuk melakukan kegiatan wawancara.
Saat ditanya mengenai proses kelahiran anaknya, beliau menuturkan bahwa semua anaknya lahir dengan menggunakan jasa bidan, dimana bidan datang setelah anaknya lahir dengan kata lain bayi keluar dari perut ibu, baru kemudian bidan dipanggil, karena memang selain bidan sangat jarang ditemui juga letak rumah bidan atau rumah sakit yang memang jauh dari Padukuhan Grujugan saat itu. Beliau juga menjelaskan bahwa sekarang dukun bayi yang akan menjalankan praktek harus memiliki surat ijin dari dinas kesehatan setempat, bidan maupun dokter. Sehingga jika tidak memiliki surat tersebut, tidak boleh melakukan praktek persalinan. Pak Ponidi hanya menggunakan jasa dukun bayi saat proses “ndadah bayi” saja.
Menurut beliau proses kelahiran hanya masalah bayi yang akan keluar dan sebenarnya ada atau tidak adanya bidan adalah sama saja, tidak ada masalah, karena sepengetahuan beliau dari pengalaman mengantarkan istrinya atau membantu tetangga yang akan melahirkan, proses persalinan hanya tinggal menunggu bayi keluar dari perut, tidak ada proses atau ritual khusus yang dilakukan seorang bidan atau dukun bayi.
“jane niku ki dukun opo e bidan ngge mung ngentani lair nggeh ming lair dewe ndadak di karoke. Nuwun sewu nggih mbak, umpomo dinengke wae we lahir dewe og mbak”.
Jaman dulu, tali pusar dipotong memakai bambu tidak ada masalah, namun sekarang berbeda karena sudah banyak peralatan yang lebih baik dan lebih steril. Menurut penuturannya, keanehan yang terjadi pada kelahiran bayi dikarenakan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat dan lebih banyak penyakit, yang berbeda dengan dahulu. Selain itu dengan banyaknya penyakit dan sudah adanya kemajuan di bidang kesehatan, banyak terdapat kekhawatiran masayarakat terhadap penyakit dan kesehatan itu sendiri.
Pak Ponidi juga pernah merasakan proses kelahiran anak pertamanya tahun 1978 yang sangat panjang dan lama yakni tiga hari tiga malam untuk menunggu anaknya keluar dari perut selama terjadi kontraksi dengan ditunggu oleh dukun bayi, hingga kemudian beliau mau tidak mau memutuskan untuk membawa istrinya ke rumah sakit yang jaraknya sangat jauh yakni di dekat sumur gumuling kraton atau sebelah timur taman sari yang sekarang dijadikan sekolah.
Untuk saat ini Pak. Ponidi lebih menyarankan agar masyarakat melakukan persalinan dan berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena telah memiliki Jamkesmas, sehingga harus dimanfaatkan sebaik mungkin agar tidak sia-sia. Banyak orang dulu lebih memilih melahirkan di rumah karena lebih merasa aman karena ditunggu oleh banyak orang, dari pada di rumah sakit yang relatif sepi dan tidak ada orang yang datang untuk perhatian dan memperhatikan proses kelahiran.
“ning bidan niku ngangkang ngoten mung dinengke wae, ten rumah sakit rak ngoten, nuwun sewu nggih, nek tibo tangi ning rumah sakit rak dinengke wae, nek ten ngomah rak dikruyuk wong akeh, mbuh dipijeti mbuh piye, dadi do seneng nek bayen ten ngomah, ha ning rumah sakit niku mboten oleh wong mlebu og”.
Sebelum adanya Jamkesmas masuk desa, beliau juga lebih menyarankan untuk ke puskesmas atau rumah sakit bagi yang memiliki biaya, karena ditakutkan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, ini juga tergantung kesulitan. Menurutnya, apabila dirasa proses kelahiran akan sulit, dianjurkan untuk ke rumah sakit atau ke bidan, tapi jika tidak, tidak apa-apa untuk dilakukan di rumah, karena sekarang bukannya dukun bayi atau bidan yang datang ke rumah, tapi kita yang harus mempersiapkan proses kelahiran dan datang langsung ke bidan atau rumah sakit. Menurutnya dukun sekarang ini juga sudah jarang keberadaanya karena tidak laku lagi semenjak kemunculan penyuluhan kesehatan dan puskesmas, hal ini ia rasakan sejak inpres tahun 85an. Masyarakat lebih sadar akan kesehatan
“nek ning dukun ki sok-sok peralatane, nek ning bidan rak terjamin to mbak. Nuwun sewu nggih mbak, nek dukun niku nguyel-nguyel bayi rak tangane iseh kotor to”.
Selain itu diakhir wawancara beliau menjelaskan mengenai Jamkesmas yang hanya bisa dipakai jika masyarakat melakukan cek kesehatan kehamilan atau imunisasi bayi mereka di puskesmas atau ke rumah sakit, bukan bidan atau dokter, karena keduanya merupakan kerja pribadi. Mereka tidak mau jika tidak dibayar.
“nek bidan ro dokter itu nggak bisa mbak, niku kan pribadi niku dadi kudu mbayar, ra gelem nek ra dibayar, dokter we leh sekolah do larang-larang to, dokter niku ngeten, yo nulung, nulung, tapi pribadi ngge pribadi”.
- B. ANALISIS DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil wawancara diatas, keempat responden yang telah di wawancarai mengemukakan persepsinya mengenai penggunaan jasa dukun bayi secara berbeda-beda. Kelompok Usia diatas 70 tahun yang memang melaksanakan proses persalinan di era 50-60an lebih memilih menggunakan dukun bayi karena harga yang murah dan belum adanya tenaga medis saat itu. Sedangkan kelompok Usia 50 tahun yang melahirkan anaknya di era 90-an dengan mulai banyaknya tenaga medis, masih bisa meyakini kemampuan dukun bayi karena walaupun telah banyak bermunculan tenaga medis namun senyatanya masih susah untuk ditemui dan jaraknya jauh dari desa setempat, prosesnya pun juga lebih mudah melalui dukun bayi. Era ini sudah sedikit mengalami transisi, sedangkan bagi kelompok Usia 30 tahun sama sekali tidak meyakini kemampuan dukun bayi dan lebih memilih bidan atau dokter karena jaminan keselamatan selain karena mereka telah memiliki Jampersal.
Fenomena ini menyiratkan bahwa perkembangan masyarakat menuju kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi, ikut mengubah pula pola pikir masyarakat menjadi lebih rasional. Ini ditandai dengan berubahnya pola pikir masyarakat yang melahirkan era 60-an dengan 90-an bahkan era saat ini mengenai kesehatan dan keselamatan persalinan. Menilik tiga tahap perkembangan peradaban manusia menurut August Comte, masyarakat yang melakukan persalinan di era 60-an dapat dimasukan dalam kategori teologis, bahwa masyarakat lebih mempercayai dukun beranak karena keahlian spiritual yang dapat melaksanakan proses persalinan dengan menggunakan cara tradisional yang berpengaruh, dan hidup ataupun mati dipasrahkan oleh Tuhan. Selanjutnya adalah masyarakat pada tahap metafisik yang digambarkan masyarakat yang melakukan persalinan di era 90-an, tahap transisi masyarakat yang mulai modern dan percaya bahwa kesembuhan akan tercapai dengan pengetahuan akan kesehatan, dengan masuknya inpres dan berlanjut tahun demi tahun sehingga banyak puskesmas dan bertambahnya tenaga medis yang mesuk ke desa, memberikan penyuluhan yang memiliki kekuatan pengaruh karena tenaga medis memiliki alat canggih yang dapat membuat masyarakat percaya akan kesembuhan dari mereka yang berpendidikan. Era positivis berada pada masyarakat yang melakukan persalinan di era 2000an, dimana pengetahuan akan kesehatan semakin berkembang dengan banyaknya penyakit dan kesadaran masyarakan untuk sehat. Masyarakat sudah mulai berpikir maju dan lebih rasional dengan gejala yang terjadi. Adanya kelahiran bayi tidak normal dan berbagai gejala penyakit tidak lagi diyakini sebagai kutukan yang diperoleh baik dari turun temurun maupun efek lingkungan dimana ia tinggal, tapi memang terdapat pola perilaku yang salah dan kebiasaan yang kurang terarah.
Masyarakat dulu boleh mengatakan bahwa memakai jasa dukun tidak menimbulkan efek apapun, baik menggunakan bambu untuk memotong tali pusar, cabe untuk meredam rasa sakit dan puyang untuk menghilangkan bau amis. Ini merupakan hal yang wajar karena perilaku masyarakat dahulu masih tradisional dan perilakunya masih sederhana. Dengan berjalannya waktu, pengetahuan masyarakat akan kesehatan berkembang bermunculan teknologi-teknologi yang diciptakan untuk memepermudah dan memberikan kemaslahatan yang senyatanya memunculkan efek yang buruk bagi kehidupan. Contohnya seperti di bangunnya pabrik-pabrik yang kemudian polutan yang dihasilkan mengakibatkan penyakit, sesuatu yang dulunya dianggap steril, sekarang sudah tidak lagi menjadi steril karena keinginan manusia yang ingin selalu mendapatkan kemudahan. Pola makan juga tidak lagi dapat diatur dengan bermunculannya makanan-makanan instan dan meninggalkan makanan alami sperti sayur mayur dan buah-buahan, buah-buahan dan sayuranpun banyak yang tidak layak karena pemupukan yang menggunakan bahan kimia yang tidak diolah secara baik oleh masyarakat yang mengkonsumsi. Dukun bayi yang biasanya memakai bambu, puyang dan cabe tidak lagi mempan untuk masyarakat sekarang karena bambu dan air untuk mencuci sudah tercemar polusi, karena kepercayaan masyarakat modern yang tidak percaya terhadap obat-obatan tradisional, membuat pengobatan seperti itu sudah terpental dari keyakinan mereka sendiri, tubuh masyarakat modern sudah terkontaminasi dengan berbagai kandungan-kandungan bahan kimia yang sangat kompleks sehingga tidak mudah untuk segera melakukan penyembuhan dengan menggunakan obat-obatan tradisional maka dari itulah, muncul teknologi USG, alkohol, jarum suntik dan berbagai macam peralatan kedokteran bagi penanganan kehamilan dan persalinan lainnya.
Masyarakat pedesaan terkadang kurang menyadari bahwa tidak adanya permasalahan penggunaan bahan tradisional yang tidak sesuai dosis atau pemakaian peralatan yang kurang steril dampak jangka panjang akan menimbulkan masalah kesehatan. Kekurangsadaran dan kekurang perhatian terhadap hal tersebut membuat gangguan kesehatan atau penyakit menjadi tertimbun dan kabur karena keyakinannya akan kepercayaan kesembuhan dengan teknik tradisional. Namun dampak positifnya, mereka dapat dengan baik menggunakan pemikiran “yakin” pada teknik tradisional, karena memuliki sikap optimis, dan rileks yang dalam pandangan tri-energetik akan mendukung usaha penyembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berpikiran negatif, pesimis, dan tidak memiliki gairah hidup sehingga tidak banyak kejadian yang aneh seperti apa yang diungkapkan oleh responden ketiga Ibu. Dullahhadi selama pra, saat maupun pasca kelahiran.
Dari informasi yang didapatkan dari responden memang tidak ada banyak keluhan mengenai masa kehamilan, persalinan maupun pasca kelahiran. Inilah yang mengakibatkan masyarakat belum menemukan kekhawatiran yang berlebih terhadap dampak yang ditimbulkan dari teknik tradisional menggunakan dukun bayi. Hanya saja informasi yang masuk dari tenaga-tenaga medis melalui berbagai penyuluhan tentang kesehatan yang membuat mereka memiliki pengetahuan lebih luas mengenai dampak yang ditimbulkan dari pengobatan tradisional, sehingga masyarakat sekarang lebih memilih dan mempercayai tenaga medis yang dianggap lebih terdidik, terlatih dan memiliki suatu peralatan modern yang digunakan sebagai acuan bagaimana ahlinya tenaga medis tersebut.
Dalam dunia pengobatan kita mengenal istilah pengobatan medis modern dan tradisional atau non-medis yakni upaya pengobatan atau perawatan di luar ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Kleinman membuat klasifikasi dengan membedakan tiga macam pelayanan medis lokal (local health care systems), yaitu sistem pelayanan kesehatan populer (popular), sistem pelayanan kesehatan rakyat (folk), dan pelayanan kesehatan profesional yang berorientasi ke biomedisa Barat. Terkadang yang tradisional tersebut sering dikaitkan dengan apa yang disebut dengan alternatif. Pengobatan alternatif tumbuh dan berkembang karena dinilai lebih baik daripada sistem medis konvensional, adanya kesadaran bahwa sistem medis konvensional pun mempunyai keterbatasan, biaya alternatif lebih murah daripada biaya sistem medis konvensional. Kalangie mengidentifikasikan lima faktor yang mendasari keputusan seseorang untuk memilih suatu sistem medis tertentu, yaitu gambaran mengenai kegawatan penyakit, pengalaman di masa lalu dengan berbagai sistem medis, pengetahuan dan keterampilan terapeutik dalam keluarga dan nasihat pihak lain, biaya komparatif sistem medis berbeda, dan kenyamanan relatif dan ketersediaan sistem medis[1]. Mungkin inilah yang terjadi pada masyarakat di Padukuhan Grujugan. Selain itu menurut teori aksi Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Masyarakat dulu, lebih memilih dukun beranak karena pertama memang belum banyak bahkan belum ada bidan atau dokter, akses menuju tenaga medis tidaklah semudah sekarang, kedua adalah dari segi kenyamanan, dan ekonomi masih menjadi prioritas. Masyarakat juga mempersepsikan bahwa memakai dukun akan baik-baik saja karena telah banyak pengalaman dan pemahaman tentang apa yang pernah dialami masyarakat yang pernah menggunakan jasa dukun bayi sebelumnya bahwa memang tidak ada masalah. Sedangkan masyarakat sekarang, bahwa sudah banyak tanaga medis modern ditambah Jamkesmas serta pengetahuan mengenai banyaknya kematian Ibu dan Anak saat persalinan membuat masyarakat lebih berpikir ulang senyatanya memakai tindakan medis lebih baik walaupun memakai dukun bayi juga tidak buruk. Akses yang lebih baik daripada dahulu telah membuat mereka lebih dapat menjangkau pelayanan medis modern.
Usaha kesehatan masyarakat penting untuk membangun suatu masyarakat. Bahwa usaha-usaha kesehatan masyarakat telah meningkatkan jumlah dan kwalitas dari tenaga-tenaga produktif. Juga suatu usaha kesehatan masyarakat yang berhasil cenderung untuk merubah pandangan umum hidup dari suatu masyarakat kearah yang lebih baik yaitu kesadaran bahwa perubahan adalah dimungkinkan, sehingga dapat mendorong mereka berfikir lebih inovatif[2]. Pemilihan dukun dari pada bidan atau dokter karena biaya yang murah, dan memilih berobat ke rumah sakit dari pada dukun karena mendapat Jamkesmas, Jampersal menandakan bahwa demi kesehatan dan keselamatanpun, masyarakat masih terlalu “irit” dan belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan rohani mereka akan kesehatan. Gambaran masyarakat Grujugan dapat dilihat seperti model keyakinan sehat (health believe model) yang dikembangkan oleh Rosenstock. Empat keyakinan utama yang didefinisikan dalam model HBM yaitu keyakinan tentang kerentanan kita terhadap keadaan sakit, keyakinan tentang keseriusan atau keganasan penyakit, keyakinan tentang kemungkinan biaya, dan terakhir keyakinan tentang efektivitas tindakan ini sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif[3].
Ahli psikologi sosial Maslow mengembangkan teori hirarki motivasi yang menunjukan tingkatan motivasi individu yang dilakukan secara bertahap dimulai dari yang dasar. Artinya sebelum kebutuhan dasar terpenuhi, individu belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan dll[4]. inilah yang dapat menggambarkan warga Grujugan dari hasil penelitian, bahwa bagaimana uang (faktor ekonomi) begitu berharga bagi pemenuhan kebutuhan dasar paling awal dibanding dengan kebutuhan akan kesehatan, keamanan dan keselamatan. Kalaupun bisa mereka lebih memilih untuk menggunakan jasa persalinan yang paling murah dan dukun bayi menjadi alternatifnya meskipun mereka mengetahui dampak yang akan terjadi, karena memang ini adalah pilihan terakhir bagi mereka ketika biaya rumah sakit mahal, jauhnya jarak rumah sakit dan akses menuju dokter atau bidan. Selain itu peran lingkungan dan modal sosial yakni ikatan sosial kuat pada masyarakat Grujugan pada era Ibu. Dullahadi juga begitu berpengaruh bagaimana si dukun bayi seorang yang ia percaya dapat membantu proses persalinannya dan selanjutnya mepengaruhi pula tetangga-tetangga yang lainnya untuk memakai jasa dukun bayi karena rasa percayanya tersebut pada dukun bayi yang sudah lama dikenalnya sebagi tetangga.
Pentingnya tenaga medis dan penyuluh kesehatan dalam hal ini membawa pengaruh yang besar bagi warga Grujugan. Mereka memiliki influence, power, force dan authority dalam mengubah pola pikir masyarakat yang menjadikan masyarakat percaya dan melaksanakan apa yang diharapkan oleh tenaga medis pada mereka akan kesehatan. Keyakinan dan kepercayaan masayarakat karena faktor-faktor yang melekat pada tenaga medis dan penyuluh tersebut membuat stratifikasi medis antara tenaga medis (dokter, bidan), dinas kesehatan (penyuluh) dan masyarakat. Sehingga ketergantungan mereka akan rezim ini sangat besar. Seperti dalam hasil wawancara diatas, Ibu. Ambar responden kedua kami amat ketakutan dan khawatir apabila penanganan persalinan tidak dilakukan oleh orang yang profesional. Walaupun tidak secara langsung di lontarkan saran untuk USG oleh bidan tersebut namun karena begitu khawatir dengan keadaan bayinya, beliau rela USG dengan kocek sendiri dan biaya yang mahal ke dokter akibat pernyataan seorang bidan puskesmas yang memeriksa kandungannya dengan menyatakan bahwa bayi yang nanti lahir akan memiliki badan yang kecil. Setelah di USG ternyata dokter yang memeriksa mengatakan tidak ada masalah dengan bayi, dan bayi akan lahir sehat dan normal. Yang menjadi masalah adalah apabila stratifikasi dalam bidang kesehatan antara dokter/bidan dengan pasien ini, ketidak tahuan pasien akan menjadikan salah satu potensi pemerasan. Freidson mengatakan bahwa posisi khusus dokter akan terancam bila tindakan dan keputusannya harus jelas dan dibenarkan oleh pasien[5]. Desakan untuk mempercayai merupakan cara agar pasien pasrah saja pada dokter, ini memungkinkan dokter mempertahankan bahwa merekalah yang berwenang dalam pengetahuan tersebut. Kemampuan dokter dalam mengotrol dan memanipulasi inilah yang bertentangan dengan hubungan antara dokter/bidan dan pasien.
Refferensi :
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan : Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Lubis, Firman. 1982. Masalah Kependudukan dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran UI
http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf. Mahasiswa Jurusan Sosiologi, FISIP, UNS Angkatan 2007. Sosiologi Kesehatan. Hal.16. Diunduh pada 5 April 2012 pukul 20.37 WIB
DAFTAR GAMBAR
Beberapa gambar dari atas ke bawah menunjukan bagaimana keasrian desa yang jauh dari hiruk pikuk kota Bantul. Tiba di Padukuhan Grujugan RT 1 tepat di Posyandu “Sekar”. Terlihat dalam gambar salah satu responden yang ditemui sedang menggendong anak bayinya di depan rumah bernama Ibu Ambar dan bayinya yang berumur 5 bulan bernama Ganis, dilanjutkan kemudian kami menemui Ibu. Dullahhadi dengan bantuan responden sebelumnya untuk mencari kriteria responden yang diinginkan. Tiba pada responden ketiga dan keempat, secara santai melakukan wawancara dengan Pak Dukuh dan Ibu. Dulahhadi yang saat itu tengah berada di depan rumahnya masing-masing.
[2] Firman Lubis. Masalah Kependudukan dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. 1982. Hal. 98
[4] Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan : Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta. 1997