Kejaiban Doa

judulnya sih mungkin itu..

Malam itu sekitar jam 1 pagi dini hari, tepatnya setelah nonton drama korea yang judulnya reply 1994 dengan total 2 episode. Sebenernya Cuma mau nonton 1 episode aja, tapi berhubung susah tidur jadinya penambahan 1 episode biar lagi cepet ngantuk ternyata sia-sia, tetep aja nggak ngantuk…well,,well,,well selamat anda berjodoh dengan malam lagi!

Lampu kamar yang biasa dimatiin, akhirnya tetep dinyalain, soalnya takut tidur dengan slimut terbuka kalo lampunya dimatiin, mau dimatiin ato nggak toh juga nggak ngaruh kok. Setelah beberapa menit usek-usek di kasur tipisku,tiba-tiba ngelirik sebuah mini Al-Qur’an terjemahan dan doa-doa. Dan memutuskan buat ngambil dan baca itu.

baca doa-doa dan Al-Qur’an dengan harapan bisa cepet tidur, karena konon katanya jika sebelum tidur kita membaca, maka tidurnya akan nyenyak dan nggak cepet lupa. Eh ternyata nemuin doa “ketika sulit tidur”, tapi sebelum baca itu, lebih dulu baca doa dzikir yang buanyaaaak banget sambil baca artinya.

emm semua arti dan kandungannya LUAR BIASA dahsyat, sebagai orang Islam, maka inilah yang semestinya dilakukan, nggak hanya baca arabnya tapi juga memahami artinya walaupun nggak semua orang penafsirannya sama, tapi yang penting kita harus percaya bahwa itu adalah doa untuk Tuhan kita.

Pokoknya didalam doa-doa yang aku baca, semua adalah doa-doa yang disunahkan untuk dibaca, yang artinya ketika lo mau nggak baca terserah tapi kalo lo mau baca bakal dapet pahala apalagi kalo bacanya sambil niat yang bener-bener2 dari hati lo yang terdalam.

Gue bener2 baca sambil mepraktekan cara Rasulullah baca doa itu. Bagaimana cara baca, berapa kali dibaca dan sampai akhirnya tiba dibacaan kesulitan tidur, dimana bacaannya juga panjang banget, dan mempraktekan gimana dulu Rasulullah tidur yakni menghadap kiblat, badan rebah ke kanan dan tangan kanan dibawah pipi kanan kita sampai akhirnya gue tidur. Insyaallah dengan bacaan itu gue bakal terjaga sampai pagi hari dari setan dan Alhamdulillah doa ini bener2 keajaiban Tuhan, gue bisa tidur dan bangun pagi tanpa dibangunin suara apapun bahkan tanpa beker atau alarm hp, biasanya gue bangun karena suara ibu gue, yang artinya ibu gue imannya kuat karena selalu berdoa tiap saat (itu yang gue yakini), dan di keluarga gue Cuma dua orang yang suaranya atau kehadirannya mampu bikin gue bangun walaupun terlelap tidur saat pagi tiba yakni ibu dan tante gue..

Gue ngarasa tidur gue tadi malem berkualitas banget, dan nggak mimpi aneh2, dan ketika bangun, ibu pas nyalain salah satu channel tv trans7 tentang bacaan doa tidur agar tidur lo nggak diganggu setan dan siangnya gue nonton silet dimana shakti (ex personil Sheila on 7) lagi diwawancara tentang kehidupannya setelah menjalani kehidupan sebagai (ya taulah ya) dan mraktekin gimana doa dan tata cara sebelum tidur yang persis banget sama yang aku jalanin tadi malem..

Pada intinya tadi malem doa yang gue baca adalah ketika seseorang baca doa itu, seseorang bakal dikuatkan imannya, pokoknya bakal menemukan keajaiban hidup, ditunjukan jalan kebenaran dan lain-lain yang banyak banget dan harus lo semua baca sendiri dan mengamalkan. Dan setelah banguan melihat itu semua gue serasa bener2 dikasih petunjuk, dikasih jalan dan bener2, ooo mungkin ini doa yang tadi malem gue panjatikan sama Allah SWT, dan Allah kasih gue petunjuk kecil ini sesuai dengan apa yang lo panjatin tadi malem..dan hidayah ini adalah hidayah2 lanjutan yang coba Engkau berikan kepadaku bahwa keajaiban dan keberadaan-Mu benar2 nyata Ya Allah..Assyukurullah Ya Allah terimakasih, Subhanallahil adzim, Alhamdulillahirrabbil’alamiin, Allahu Akbar.

Jual Tikus Putih Mencit dan Ratt Wistar

Ternakan Tikus Putih yang mengembangbiakan MENCIT dan RATT WISTAR.

Peternakan TIkus PUTih “ABADI JAYA” yogyakarta, kami melayani kebutuhan UNTUK PENELITIAN dan kebutuhan pakan reptil

Cocok sekali untuk PENELITIAN/PERCOBAAN Farmasi dan Kedokteran maupun untuk PAKAN hewan reptil.

Penawaran dengan Harga Murah dan Kualitas Oke,

(terima delivery sekitaran jogja)

13971278_3582721_50b5c54d0ef8d

Pakannya pelet, organik nabati berupa, jagung, kacang hijau, kedelai, kacang-kacangan, sayuran, dll. Tikusnya sehat & bersih. Kandang bersih, sirkulasi udara lancar, & suhu sejuk. COCOK UNTUK PENELITIAN

IMG_4335

IMG_4336

  • PAKAN

MENCIT

  1. Pinkies = Rp. 1500
  2. Sapih = Rp. 2500
  3. Adult = Rp. 4000

RAT WISTAR :

  1. Sapih =Rp. 4000
  2. Medium =Rp. 6000
  3. Adult =Rp. 10000 – 15000
  • PENELITIAN

MENCIT atau SPRAGUE DAWLEY

  1. 20 gr = Rp. 8000
  2. penelitian dewasa (umur 4-6 minggu) = Rp. 10000

RAT atau WISTAR penelitian

  1. 100 gr – 150 gr = Rp. 20000 – 25000
  2. 150 gr – 200 gr = Rp. 30000
  3. Lebih dari 200gr = Rp. 35000

TIKUS-TIKUS UNTUK PENELITIAN BIASANYA MEMERLUKAN PERSYARATAN KHUSUS. MISALNYA: KESERAGAMAN GALUR, UMUR, DAN BOBOT TUBUH. CARA PEMELIHARAANNYA PUN JUGA SEDIKIT BERBEDA, LEBIH DIPERHATIKAN MASALAH KEBERSIHAN DAN PAKANNYA. untuk hewan percobaan pakannya 511 untuk pakan unggas, pelet jenis ini khusus untuk pedaging tapi kandungan lemaknya rendah.

khusus penyanyang ular atau reptil, tikus adalah hewan yang mewakili nutrisi hewan reptil.

Tiput “Abadi Jaya” menyediakan Tikus Putih untuk kebutuhan pakan reptil maupun untuk kebutuhan penelitian. Jenis tikus yang tersedia adalah Rat dan Mencit. Dengan komitmen kami untuk memenuhi keinginan tikus putih yang anda butuhkan.

Peternakan kami berlokasi di Gandok, Gang. Narodo No.3x condong catur, depok sleman, Yogyakarta, di tempat kami memiliki beberapa kelebihan antara lain :

v  Kami selalu menjaga kebersihan kandang. Penggantian media secara berkala selalu dilakukan dengan tujuan agar tikus selalu terjaga kebersihannya dan terbebas dari penyakit kulit.

v  Kami memberikan makanan dengan kombinasi yang seimbang, Kualitas pakan dan gizi yang terjaga dan seimbang., diantaranya pemberian sayur-sayuran, karbohidrad, vitami, dan protein.

v  Kondisi udara yang sejuk dan kami menjaga agar kualitas tikus ternak kami sehat dan gemuk. Lokasi ternak kami memiliki situasi lingkungan yang mendukung, jauh dari lingkunganan permukiman warga.

 Dari berbagai kelebihan dari peternakan tikus putih yang kami kelola, kami berharap agar dapat memenuhi permintaan tikus putih untuk pengiriman ke seluruh wilayah Indonesia.

  • tidak menjual mencit indukan

Anda Berminat???

Hubungi Kami Lokasi Gandok, Gang Narodo No 3X, Ring Road Utara, Condong Catur, Depok Sleman Yogyakarta.

dari ring road utara, ada hotel mawarsharon 2, masuk sekitar 100 m, sebelah warnet barakuda, pagar biru.

Hub. Tofa 083840598002

This entry was posted on January 15, 2013. 1 Comment

cerita waktu KKN

Ini cerita saat aku sedang menjalani kkn di sebuah desa jauh dari hingar bingar kota, yang sulit sekali sinyal, naik turun bukit berdebu, apalagi kalo turun hujan, tau sendiri kan kalimantan itu wilayah hutan hujan tropis, udah deh nggak bakal bisa pergi kemana2 karena pasti jalanan bakal becek, benyek dan nggak bisa dilewatin, nggak ada dokter dan puskesmas saat aku kena cacar dan 2 temen homestay ku ikut ketularan, mitos-mitos aneh hadir dan juga obat-obat amatir yang terpaksa aku minum karena perutku sangat sakit. Bermanja-manjapun kita nggak bisa. Disini bener-bener hidup penuh perjuangan ditengah tekanan dan ujian yang datang bahkan setiap hari..bener-bener aku dilatih untuk sabar gimanapun caranya, diuji untuk tetap tenang dan bahagia apapun kondisinya. Hampir satu bulan disana bener-bener ngebuat aku merasakan bahwa hidup sabar itu berarti banget. Ini lebay banget kan?se lebay aku bawa pelampung rompi dan pelampung donat karena takut tenggelam akibat nggak bisa renang dan takut kedalaman yang berujung takut mati karena kelelep di air..ini bener2 konyol tapi menurutku ini adalah sebuah antisipasi yang berujung pada keparnoan, apalagi dikira aku bawa boneka mirip guling karena aku bungkus pake plastik item dan aku bawa kemana-mana saat di kapal hari pertama menuju lokasi kkn *dikira aku semanaj itu apa..heemmm padahal di kapal sendiri udah disediain sekoci sama pelampung rompi, tapi apa segampang itukah dan setenang itukah ketika bener2 ada kejadian yang gak dipengenin..hahahha maklum pertamakali aku naek kapal dan bahkan aku sendiri yang bawa koper, ya maksudku biar bisa dijadiin lemari waktu di kamar, jadi nggak ribet..hee,,makasi pada temen2 yang pernah ngebawain koper imut milikku.., tapi ini bener-bener luar biasa tekanan yang ada disana. Aku nggak yakin kalo temen-temenku punya cerita yang sama kayak gini. Mungkin ceritaku lebih menyedihkan pake banget.

Saat kkn aku memiliki tugas menjadi tenaga pembantu pengajar di sebuah sekolah. Banyak sekali anak-anak di sekitarku. Tidak hanya di sekolah tapi juga saat aku sedang di homestay ku. Yang paling aku senangi adalah mereka ternyata sangat senang belajar apalagi ketika ada orang baru di sekitar mereka. Nafsu untuk belajar mereka menjadi bertambah dan keingintahuan mereka akan kami orang luar juga semakin bertambah. Setiap hari sekolah, mereka selalu bangun jam 5 pagi..waw..lalu menuju sungai untuk mandi, dan menariknya mereka semua hampir berangkat bersamaan jam 6 pagi karena memang hanya ada satu sekolah di wilayah itu. Menarik saat aku tanya kenapa pagi sekali berangkat, dan mereka berkata bahwa takut jika terlambat ke sekolah. Padahal jarak sekolah dan rumah mereka sangat dekat, dan memakam waktu 5-10 menit dengan jalan kaki, kalau naik motor kira-kira satu menit aja…ckckck…saat itu aku dan2 temanku yang satu homestay sangat kaget, soalnya jam 6 pagi kita baru bangun, bersih-bersih kamar dan baru mau mandi. Kasian banget mereka juga nggak sarapan, gimana nggak laper waktu di sekolah entar. Nggak kalah menarik, ada juga anak-anak yang aku lihat sangat nakal dan pembangkang ternyata rajin membantu orangtua dengan menjajakan makanan yang dibawa darti rumah untuk dijual ke sekolah T_T sos wiit sekali bantuin orangtua dengan berjualan di sekolah membawa toples berisi macam-macam makanan. Saluuuuuut anak sekarang mana dia mau sih, pasti malu. Itu yang membuat ku kadang yang sebel jadi terharu dan berpikir lebih jelas bahwa setiap sisi buruk pasti terdapat sisi baik dilain tempat, kedua sisi ini muncul ditempat yang berbeda menurut situasi dan kondisi yang menurut mereka nyaman untuk memunculkan salah satu sisi mereka. Setiap perbuatan yang mereka lakukan pasti memiliki arti, tujuan dan sebab, tidak ada asap sebelum ada api. Sehingga kita tidak boleh menjudge orang semau kita tanpa kita tahu sisi lain dari mereka dan mengapa mereka melakukan itu. Sama halnya dengan berita-berita di media yang selalu menghakim i kita tanpa kita tahu bagaimana perasaan orang-orang tersebut dan orang-orang disekitar mereka yang mereka sayangi.

Tau murid-murid yang kami ajar bangun sangat pagi, maka aku dan 2 orang temanku juga nggak mau kalah. Sungguh amat berat untuk bangun pagi saat kkn. Gimana nggak berat, karena kita seharian melakukan aktivitas kkn dan semuanya jalan kaki dengan rute yang cukup jauh. Mandipun  kita harus ke sungai juga. Kalu pagi dan sore, sungai melawi yang kita pakai airnya cukup jernih, tapi kita jarang mandi siang karena sangat keruh dan biasanya dipake masyarakat sekitar untuk mencari emas. Sebenernya dibelakang homestay ku ada juga sungai, tapi jarang dipakai untuk mandi tapi untuk buang tokai oleh masyarakat *katanya sih gitu, jadi kita mah ngikut aja..hee

Nggak dipungkiri juga banyak tokai-tokai bertebaran waktu kita mandi, bahkan sampe nggak tega buat gosok gigi. Gimana enggak, dari buang ludah , sampah sampai buang yang g jelas semua disungai. Bagi mereka sungai memang bener-bener sumber kehidupan.

Listrik dikampung kami hanya nyala dari jam 6 sore sampai jam 10 malem, jadi nggak heran kalo masyarakat kampung pada suka nonton film laga yang sering diputer pada jam-jam tersebut, dari anak-anak sampe yang sepuh semua suka, dan bagi kami, jam2 tersebut adalah jam2 krusial buat ngerjain laporan tapi kadang berantakan juga sih gara-gara banyak aktifitas juga yang kita laksanain malem hari sama masyarakat khususnya muda-mudi, soalnya kita nggak memungkinkan buat ngerjain aktifitas di siang hari karena keterbatasan listrik juga masyarakat hampir semua bekerja cari emas di sungai, nggak tanggung-tanggung semua keluarga pun turut ikut andil…ckckkc…luar biasa. Dan saat kami kkn adalah bulan puasa, tentu cukup berat walaupun yang masyarakat di sana sebagian besar nasrani.

Kami banyak melakukan aktivitas kkn khususnya dengan anak-anak dan remaja. Aku senang anak-anak disana keingintahuannya sangat besar, dan adanya kami, membuat suasana baru bagi mereka. Mereka juga antusias dengan apa yang kami lakukan, terkadang suka membantu membawakan tas waktu kami pulang dari sekolah bahkan mengantar kami sampai melewati sungai-sungai.

Saat disekolah, aku lebih sering mengajar kelas empat dan enam, sehingga aku lebih akrab dengan mereka. Saat aku akan pulang ke jawa, mereka pun memberikan surat-surat perpisahan *ouuuu so swiiit…mereka semua sangat pintar dan mau berusaha. Murid kelas empat sangat amat gaduh dan ramai, gimana enggak ramai, hampir pentholan-pentholan semua berkumpul di kelas empat, apalagi si ketua kelas yang bernama sabinus yang akrab disapa binus. Kabarnya saja dan kemudian ia bilang sendiri padaku kalau dia pernah tidak naik kelas beberapa kali, yang harusnya sekarang kelas 3 smp, masih kelas 4 sd..sebenernya sebagian dari mereka juga ada yang gak naik kelas, bahkan mereka nggak malu-malu buat ngungkapin kalo mereka nggak naik kelas, kayaknya sih udah biasa juga hal kayak gitu..ckckck..tapi aku menangkap kelebihan dari diri binus selama aku mengajar. Bahkan ia menjuarai lomba menggambar dan lomba lari saat kami menggelar lomba 17 agustus di sekolah mereka. Binus sebenernya punya banyak bakat, tapi mungkin ia kurang semangat karena kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Itu juga yang aku rasakan pada anak-anak yang lainnya. Gimana tidak, semua orangtua dari pagi hingga sore bekerja terus sehingga nggak ada yang ngurus anak-anaknya. Bayangin aja, seorang guru nggak masuk sekolah gara-gara mau panen sawit..ckckkc ini apa-apaan. Dalam satu sekolah yang berisi 7 ruangan, 6 untuk kelas dan 1 ruangan untuk ruang guru yang bahkan nggak layak, hanya dihuni 6 guru yang tiap hari harus ngajar gantian, ini kan g kondusif banget. Bahkan bisa-bisanya anjing kepala sekolah ikut majikannya ke ruangan guru yang juga ruangan kepala sekolah. Nah saat upacara juga, nggak nyangka, upacara bendera yang harusnya hening khidmat, tiba2 seekor anjing menuju tengah lapangan, duduk terus garuk-garuk badannya. Gila gila gila, dianggep anjing itu angin kali ya. Juga saat masuk pertama murid baru kalas 1, anjing pun ikut masuk kelas. *mungkin si anjing pengen ngerasain gimana sekolah pake seragam kali ya.

Ada lagi muridku namanya tegar. Tegar juga murid yang cerdas, tapi lagi lagi dukungan lingkungan sosialnya kurang. Dalam hal kreativitas, ia jagonya, terkadang saat pulang dan pergi ke sekolah saat mau les, tegar sama sodaranya sering menggoda aku dan temanku dengan puisi dan pantun buatanya, juga aku masih ingat lagu ciptaannya untuk membangun semangat. Gini nih lagunya :

“Matematika pelajaran yang pertama, cocok atau tidak lakukan dengan cinta”

Itu adalah lagu yang sampe sekarang membuat aku kagum pada sosoknya. Sape aku jadiin jargon juga sebelum belajar.hee. Dan selama disana aku banyak menemukan suatu kehidupan lain dari sosoknya. Rata-rata masyarakat disana adalah bersaudara, dan hampir semua sodara. Banyak masyarakat di sana melakukan pengangkatan anak. Tujuan yang aku pernah dengar adalah untuk menambah jumlah sanak sodara, apalagi ketika panen tiba maka semua sodara digunakan untuk saling bahu membahu untuk melakukan panen sawit atau biasanya dinamakan “royongan”..salut deh. Tegar itu adalah nama pemberian dari bapak angkatnya katanya, karena sejak kecil ternyata orrangtuanya telah berpisah dan orangtuanya kini telah memiliki keluarga sendiri-sendiri dan tegar ikut bapaknya. Gimana aku g terharu, tiba-tiba saja saat habis pulang mandi disungai, ia bilang kalo nama ku pemberian dari bapak angkatku, dia tinggal sama neneknya dan ibunya sekarang udah nikah dan punya keluarga lagi, dan ia g merasakan kesedihan apapun layaknya seorang anak kecil yang polos. Tapi dibalik itu aku tau dia sebenernya sedih banget, karena saat di kelas dia selalu keceplosan menceritakan tentang keluarganya. Mungkin karena aku terlalu banyak tanya dan mengajarkan mereka akan keluarga, cita-cita dan masa depan yang katanya ia ingin sekali menjadi tentara tapi katanya ia tidak tinggi seperti bapaknya *ini dia bilang sangat lantang di kelas saat aku tanya tentang cita-cita muridku. Sebagai seorang pengajar, tentu aku nggak boleh mematahkan semangatnya yang g pede akan badannya bukan?.

Ada juga yang lucu, muridku bernama stefani kelas 4 yang mukanya cantik, tak heran menjadi idola temen2 kkn ku. Ia anaknya pak kepala desa, dan suka duduk di depan, dengan rambutnya yang bergaya bob jadi semakin lucu dan imut. Suatu hari ia terserang penyakit aneh yang menyebabkan pipi dan lehernya membengkak, yang kata ibunya sih, sebelum ia kena penyakit itu, malamnya ia mengatakan kalau ia mimpi digigit kalajengking *waw ngeri,,trus diobatin ala cina dengan dikasih kaligrafi cina di pipinya. Hahah ibu dan bapaknya juga jualan makanan di depan rumahnya yang ternyata didepan sekolah, aku juga pernah mendapat kue gratis masakan pak kades..hee..gratis itu enak..kalau disini munggkin namanya kue terang bulan, tapi disana nyebutnya kue apem *apalah yang penting gretong..hee. saat itu aku mengajar IPS di kelas 4 dan aku memberikan tugas untuk mengerjakan soal. Yaampun tau deh gimana mau pinter kalo yang punay buku paket Cuma 4 orang dari 23 orang. Emnag ish belajar gak mesti dari buku, tapi paling enggak mereka dari kecil gemar membaca. Nggak heran kalo disana anak-anak pada telat baca, lhah g ada buku, perpustakaan juga baru dibuka pas aku kkn aja..ckckkc. tugasnya yang ada dibuku ada soal yang menyebutkan apa tugas kepala desa..nah saat itu karena buku sangat minim, maka aku pustuskan untuk gantian, dan aku berikan ilustrasi dengan menggunakan pak kades yang tak lain adalah bapaknya stefani. Waktu itu palajarannya adalah mengenai perangkat desa dan tugas-tugasnya. Karena minimnya buku dan mereka gantian, alhasil ada yang selese pekerjaannya, makanya aku putuskan untuk dikumpulkan saja sebisanya. Ketika aku mengoreksi jawaban, naaaaaaaaaaaah aku ketawa bukan kepalang, gimana enggak ketawa, jawaban dari stefani membuat aku ketawa cekikikan. Jawaban dari pertyanyaan apa tugas kepala desa adalah membela kebenaran. Yaaampun kalo dilogika sih emang iya, bapak nya adalah seorang kepala desa, ia pasti juga mengamati apa yang dilakukan bapaknya sebagai kepala desa. Ckckkc…,menurutku ini adalah jawaban luar biasa.

Bagi ku anak-anak yang polos ini adalah inspirasi bagiku, bagaimana tidak, mereka semua memiliki pemikiran yang alami dan realistis, dan nggak teksbook kayak pendidikan yang diajarkan jaman sekarang. Hal ini membuatku sadar bahwa pendidikan sekarang dengan fasilitas yang memadai apalagi buku, anak-anak disuruh baca buku, mengerjakan tugas dengan pemikiran bahwa jawaban yang benar adalah apa yang ada dibuku, ya jadinya anak-anak memiliki pemikiran teksbook , nggak berkembang atau nggak kreatif, nggak heran kalau anak-anak sekarang terkesan mengikuti pendidikan gaya bank.

Aku nulis ini soalnya aku pengen banget berbagi cerita tapi bukan cerita yang aku tonjolkan, tapi makna dibalik cerita ini yang mungkin kalian sendiri nggak bakal dapet secara langsung. Tapi kalian akan ngerti kemudian hari, bahwa kita hidup nggak sendiri, kita hidup pasti membutuhkan oranglain, mengerti keadaan oranglain bukan berarti mau tau kehidupan orang lain, karena kita tahu bahwa hidup sendiri dengan banyak tekanan itu nggak enak. Juga ketika kita diam bukan berarti kita nggak mau tahu dengan kehidupan sekitar, ini lebih karena ia tidak mau untuk menjadi sok tahu tapi benar-benar ingin mendalami kasus sebelum bertindak. Bukan berarti lambat , tetapi karena lebih berhati-hati dengan medan yang belum dikenal dengan baik.

Benar-benar hidup bersama orang lain akan membawa kita untuk selalu hidup berusaha. Karena kita hidup bukan untuk mundur kebelakang, tapi untuk melakukan hal-hal yang udah kita pikirkan sebelumnya agar dapat melangkah ke depan lebih baik dari sebelumnya, karena manusia hidup itu punya tingkatan kayak umur, dan nggak bisa yang namanya mundur ke umur sekian, yang bisa hanya berhenti ke umur dan maju ke umur.

KONSUMSI JUNK FOOD : MAKANAN LEZAT RENDAH NUTRISI

PENDAHULUAN

Saat ini, siapa yang asing dengan makanan fried chicken, pizza, french fries, hamburger, donat, dan sejenisnya? Barang tentu sebagian besar masyarakat sudah sangat mengenalnya. Bahkan makanan-makanan jenis tersebut sudah sangat akrab di lidah dan menjadi santapan sehari-hari, terlebih bagi anak muda. Makanan yang termasuk dalam kategori junk food dan fast food tersebut dengan sangat mudah dapat ditemui di mall, supermarket, sampai toko buku. Kemunculannya yang menjamur tersebut memperlihatkan bahwa fast food dan junk food mendapat tempat di hati masyarakat.

Sebetulnya, tidak semua fast food termasuk dalam junk food dan sebaliknya. Namun, konsumsi jenis makanan tersebut harus berhati-hati karena sebagian besar fast food adalah junk food. Junk food adalah makanan dengan kandungan nutrisi yang terbatas. Bahkan ada yang menyebut bahwa junk food adalah makanan sampah yang padat kalori. Makanan yang termasuk dalam kategori ini adalah makanan yang mengandung garam, gula, lemak, dan kalori tinggi. Sedangkan kandungan vitamin, mineral, dan proteinnya justru rendah. Makanan yang termasuk dalam golongan ini misalnya kripik kentang, permen, dessert manis, makanan yang digoreng, minuman soda atau berkarbonasi. Sedangkan fast food adalah makanan yang disajikan dalam waktu yang cepat dan dapat dibeli lewat jendela drive-thru, misalnya adalah burger, sandwich, mie. Sebenarnya makanan ini termasuk golongan makanan yang bergizi dan berprotein. Hanya saja, frekuensi mengonsumsinya harus diatur dan tidak berlebihan karena mengandung lemak, kalori, kolesterol, dan sodium. Semua makanan jenis ini akan membahayakan tubuh apabila dikonsumsi secara tidak seimbang.

Kemunculan junk food dan fast food sendiri dimulai sejak awal abad 19 ketika dimulainya industrialisasi di Amerika Serikat. [1] Saat kebanyakan orang mulai mengikuti rutinitas industri, maka terbentuklah pola kebiasaan yang baru. Dengan jam kerja industri, mereka dituntut untuk memanfaatkan waktu istirahat dengan efisien. Sehingga fast food menjadi solusi untuk persoalan makan di tengah waktu istirahat yang terbatas. Di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam dunia industri menjadikan mereka memiliki waktu yang terbatas, termasuk untuk memasak. Keadaan inilah yang semakin mendorong kesuksesan kios-kios fast food dan junk food. Memasuki abad ke-20 kesuksesan tersebut semakin memuncak, ditandai dengan kemunculan restoran-restoran junk food seperti sekarang ini.

Kini  makanan junk food lebih populer dibanding makanan lokal atau tradisional, terlebih bagi kalangan anak muda. Bagi mereka, ada pandangan bahwa mengonsumsi fast food atau junk food lebih prestisius dan keren. Ditambah lagi kehidupan masyarakat kini yang kian modern dengan mobilitas tinggi menuntut mereka untuk serba cepat dan instan, termasuk dalam hal makan. Dan inilah yang tidak bisa didapatkan ketika kita harus memasak dan menyiapkan makanan sendiri di tengah keterbatasan waktu. Sehingga terkadang makan di luar rumah menjadi pilihan dan kandungan gizi makanan yang dikonsumsi pun menjadi nomor kesekian. Apabila hal ini terus menerus menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, ditambah lagi sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif, maka ancaman gangguan kesehatan akan siap menerjang. Hal ini dikarenakan baik di dalam fast food maupun junk food terkandung bahan-bahan yang tidak baik untuk tubuh, misalnya sodium, MSG, satured fat yang dapat memicu penyakit. Sehingga pola konsumsi, terlebih konsumsi fast food dan junk food menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan dikurangi. Sebetulnya yang terjadi sekarang adalah keironisan, dimana makanan yang membahayakan justru dikonsumsi oleh masyarakat, bahkan segala usia. Hal inilah yang mendorong kami untuk menggali pemahaman lebih mengenai pola konsumsi, khususnya junk food.

RUMUSAN MASALAH

  1. Sejak kapan makanan-makanan tersebut muncul dan menjadi masalah bagi kehidupan masyarakat?
  2. Beranjak dari hal demikian apakah orang mengetahui bahwa fast food ataupun junk food merupakan suatu penyajian makanan yang beresiko dan terdapat sisi-sisi negative di dalamnya? Ataukah mereka sudah mengetahui akan hal tersebut?

PEMBAHASAN

Dengan adanya globalisasi, maka junk food mulai masuk di Indonesia dan keberadaannya semakin banyak ditemukan. Hal ini ditandai dengan semakin menjamurnya industri fast food yang berdiri di Indonesia. Berawal dari abad 20 dimana perkembangan restoran waralaba menjadi ide besar  Ray Kroc yang gagasanya menghasilkan Mc Donald, ataupun bisnis yang terlebih dahulu muncul dari Fast Food Kentucky Fried Chicken dalam bentuk waralaba pada tahun 1954, akhirnya dengan berjalannya waktu mulai berkembang juga di negara Indonesia. Adapun waralaba Mc Donald dimulai pada 15 April 1945, membuka outlet ke 12.000 pada 22 Maret 1991 dan di akhir 1993, ia menjadi sekitar 14.000 restoran seluruh dunia. Ini menandakan bahwa industri tersebut telah menjalar ke seluruh dunia, dan kini pun banyak sekali industri tersebut yang berada di Indonesia. Adapun masuknya bisnis tersebut di Indonesia berupa waralaba (franshise) muncul pada tahun 1970-an. Shakey Pisa, KFC, Swesen dan Burger King menjadi awal-awal perkembangan franchise. Franchise ini semkain berkembang pesat sejak tahun 1955. Hal ini diindikasikan sebab keluarkannya peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba. Dalam peraturan tersebut telah melegalkan dan memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksploitasi para pemilik modal perusahaan-perusahaan waralaba fast food.

Masuknya bisnis waralaba (franchise) makanan siap saji khususnya di Indonesia muncul pada thun 1970-an. Masuknya Shakey Pisa, KFC, Swesen dan Burger King merupakan generasi awal franchise di Indonesia. Adanya lisensi franchise plus yang tidak sekedar penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi manandakan perkembangan selanjutnya. Sejak tahun 1995 sistem franchise mulai berkembang pesat pada tanggal 18 Juni 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba . Peraturan pemerintah tersebut telah melegalkan dan memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksploitasi para pemilik modal dalam hal ini perusahaan-perusahaan waralaba makanan siap saji (fast-food). Yang menjadi permasalahan diantara Fast food yang hingga kini tersebar di Indonesia terdapat junk food (masakan sampah) yang dapat membahayakan manusia. Namun seolah-olah junk food ini selalu dihegemonikan lewat teknologi baik media cetak, elektronik, yang tentunya dapat mengkonstruksi para penontonnya sehingga melakukan pola hidup konsumtif.

                  Permasalahan ini semakin lama semakin banyak ditemui ditandai dengan hasil penelitian dilakukan di negara Amerika  yang  menemukan jika anak-anak usia 6 tahun yang sejak kecil sudah makan fast food memiliki kecenderungan terkena stroke lebih besar karena  umumnya mereka menderita obesitas.[2] Tubuh mereka yang mengalami proses pertumbuhan dipaksa mencerna makanan dengan kandungan garam dan lemak yang tinggi. Menurut penelitian ada sekitar 5.500 anak di bawah usia 16 tahun yang ada di sebagian besar rumah sakit di Inggris mengalami obesitas sejak 5 tahn terakhir.[3] Hal ini karena tingginya konsumsi fast food pada anak-anak usia dini. Apalagi ada banyak iming-iming hadiah yang ditawarkan oleh para produsen junk food, sehingga menambah tingginya konsumsi pada anak-anak. Hal demikian juga dapat dijumpai di Indonesia, dimana hadiah menjadi suatu sarana dalam menarik anak-anak untuk melakukan pola mengkonsumsi junk food.

Dengan demikian, tentunya junk food menjadi suatu permasalahan yang perlu diselesaikan setidaknya diminimalisir, sebab hal ini dapat berbahaya terhadap manusia dan khususnya bagi anak-anak dapat membahayakan dirinya di masa yang akan datang.

 

Dampak Mengkonsumsi Junk Food

 

Mengkonsumsi makanan junk food dalam jangka panjang dan terus menerus akan menimbulkan berbagai dampak buruk yang akan dirasakan bagi kesehatan tubuh seseorang. Dampak yang ditimbulkan oleh makanan junk food tersebut biasanya tidak langsung dirasakan, namun secara perlahan akan dapat menurunkan tingkat kesehatan seseorang yang rutin mengkonsumsinya. Menurut WHO (World Health Organizaton), golongan makanan junk food beserta dampak yang di timbulkan adalah sebagai berikut :

v Makanan Gorengan

Makanan ini pada umumnya memiliki kandungan kalori, kandungan lemak dan oksidanya yang cukup tinggi. Bila dikonsumsi secara rutin dan terus menerus akan dapat menyebabkan obesitas dan sakit jantung korener.

v Makanan Daging Olahan

Makanan ini mengandung garam nitrit, natrium dan juga pengawet makanan. Seluruh kandungan tersebut akan dapat menyebabkan kanker, memberatkan beban hati/lever, mengguncangkan tekanan darah dan memberatkan kerja ginjal.

v Makanan dari Daging Berlemak

Makanan ini mengandung kadar protein, vitamin dan mineral yang baik bagi pertumbuhan. Akan tapi makanan ini juga mengandung lemak jenuh dan kolestrol, dimana kandungan tersebut telah divonis sebagai penyebab utama pernyakit jantung koroner dan berbagai macam kanker ganas.

v Makanan Kalengan

Makanan yang berupa buah kalengan maupun daging kalengan ini memiliki kandungan gizinya sudah banyak dirusak dan nilai gizinya jauh berkurang. Terlebih lagi makanan kalengan memiliki kadar gula yang sangat tinggi dan mudah diserap tubuh.  Dalam waktu singkat makanan ini dapat menyebabkan kadar gula darah meningkat yang dapat memberatkan beban pankreas.

v Makanan Asinan

Makanan ini dalam proses pengasinannya selalu ditambahkan garam yang terkadang berlebihan serta amonium nitrit. Kandungan zat yang ada tersebut akan dapat menyebabkan hipertensi, menambah beban ginjal, kanker hidung dan tenggorokan serta radang usus dan lambung jika dikonsumsi secara terus menerus.

v Makanan Manisan Kering

Makanan ini banyak mengandung garam nitrat. Apabila masuk ke dalam tubuh, garam nitrat akan bergabung dengan ammonium yang dapat menghasilkan zat karsiogenik serta esen segai yang dapat merusak fungsi hati dan organ tubuh lainnya.

v Makanan Manis Beku

Termasuk golongan ini ice cream, cake beku dll. Golongan ini punya 3 masalah karena mengandung mentega tinggi yang menyebabkan obesitas karena kadar gula tinggi mengurangi nafsu makan juga karena temperature rendah sehingga mempengaruhi usus.

v Olahan Keju

Sering mengkonsumsi olahan keju dapat menyebabkan penambahan berat badan hingga gula drah meninggu. Mengkonsumsi cake/kue keju bertelur menyebabkan kurang gairah makan. Konsumsi makanan berkadar lemak dan gula tinggi sering mengakibatkan pengosongan perut. Banyak kasus terjadinya hyperakiditas dan rasa terbakar.

v Mie Instant

Makanan ini tergolong makanan yang memiliki kadar garam tinggi namun rendah vitamin dan mineral. Apabila makanan ini dikonsumsi terus menerus, akan dapat menyebabkan makin memberatkan beban ginjal, meningkatkan tekanan darah dan memberatkan beban pembuluh darah jantung.

 

Solusi Kesehatan bagi Pencinta Junk Food

Dampak buruk makanan junk food bagi kesehatan tentunya menyebabkan orang – orang menjadi khawatir untuk mengkonsumsinya, terutama bagi pencinta makanan tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan, karena ada beberapa tips aman dalam mengkonsumsi junk food sekaligus solusi kesehatan bagi pencinta makanan junk food agar terhindar dari dampak buruk mengkonsumsi makanan junk food, yakni sebagai berikut :

v Mengurangi frekuensi makan junk food

Memperhatikan frekuensi mengkonsumsi makanan junk food merupakan salah satu tips aman termudah yang dapat dilakukan. Dalam kurun waktu sebulan, aturlah agar frekuensi mengkonsumsi makanan junk food tidak lebih dari 3 atau 4 kali.

v Mengurangi porsi dan ukuran

Mengurangi porsi makanan junk food dilakukan dengan membeli makanan dalam porsi yang secukupnya dan tidak berlebihan. Hal tersebut dapat membantu mengurangi asupan gixi berlebih yang dapat menimbulkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan.

v Menyempatkan membaca informasi nilai gizi pada tabel kemasan

Menyempatkan membaca informasi nilai gizi yang ada pada tabel kemasan makanan yang dibeli dapat membantu untuk mengira – ngira jenis dan jumlah zat gizi dari makanan yang dikonsumsi.

v Membiasakan sarapan pagi terlebih dahulu di rumah

Membiasakan sarapan pagi dengan mengkonsumsi makanan sehat di rumah akan dapat mengurangi keinginan untuk membeli makanan yang tidak sehat di luar rumah.

v Berolahraga

Menjaga kebugaran tubuh secara teratur dengan berolehraga dapat akan dapat membakar energi yang berasal dari mengkonsumsi makanan yang berlebihan.

 

ANALISIS DAN KESIMPULAN

 

Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia karena merupakan sumber energi bagi tubuh untuk melakukan kegiatan hidupnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa semakin lama dan semakin kompleks kehidupan manusia banyak modifikasi-modifikasi berbagai makanan menyesuaikan perkembangan jaman seperti pada era modern dewasa ini. Para ibu yang dahulunya merupakan peramu dan pengolah, dengan tingginya emansipasi wanita di dunia kerja, mengharuskan mereka untuk dapat menyiapkan makanan segera untuk keluarga baik di pagi hari, siang maupun malam hari. Selain itu meningkatnya jam kerja masyarakat meningkatkan pula kesibukan mereka sehingga tidak lagi sempat untuk memikirkan membeli bahan-bahan makanan untuk di olah menjadi makanan untuk dikonsumsi tubuh mereka.

Peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat, yang dibagi menjadi

tiga tahapan[4]:

  1. Gelombang hidup pertama ditandai dengan adanya peradaban didominasi oleh tradisi berburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan memakan makanan hasil ramuan berupa tumbuh-tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan memakan hewan hasil buruan.
  2. Tahap kedua dimulai ketika terjadinya revolusi, peradaban manusia yang lebih maju dimulai. Manusia mulai menyandarkan kehidupan mereka pada agrikultur (bercocok tanam). Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.
  3. Tahap ketiga dimulai ketika terjadinya revolusi industri. Dengan bantuan teknologi dan industrialisasi, berbagai jenis makanan baik olahan yang berbahan dasar tumbuhan atau hewan maupun dengan bahan kimiawi mulai bermunculan. Pada saat itu, manusia sudah bukan lagi hanya memakan hasil agrikultur melainkan hasil olahan industri.

Hasil olahan industri ini ternyata tidak saja menguntungkan manusia dari segi kecepatan sajiannya dengan harga terjangkau dan tergolong lezat, tapi juga memberikan dampak yang cukup mengecewakan dimana dari pembahasan diatas banyak timbul penyakit akibat seringnya mengkonsumsi makanan fast food yang tergolong junk food tersebut seperti mie instan, gorengan, hamburger, pizza, gorengan, keripik kentang (Lays), berbagai jenis coklat olahan, keju olahan, makanan yang menggunakan bungkus plastik berbahan pengawet tinggi, permen, cimol kering, keripik biting dan sebagainya dimana biasanya makanan ini tergolong makanan yang sangat tepat menjadi teman saat belajar, nonton televisi maupun saat bercanda dengan teman. Hal ini menyebabkan intensitas dalam mengkonsumsi makanan tersebut menjadi tinggi dan dianggap biasa, sehingga ketika sedang tidak mengkonsumsi makanan tersebut, kegiatan sehari-hari menjadi hampa dan kurang pas.

Parahnya, makanan-makanan yang tergolong junk food ini sudah dianggap menjadi makanan pokok sehari-hari sebagai penahan lapar terlebih untuk anak kos yang terbilang irit seperti yang diuraikan Puji, mahasiswa Sosiologi angkatan 2009 yang menyatakan bahwa konsumsi mie instan karena “the power of kepepet”. Selain itu interview terpisah juga di tuturkan oleh Rina Mahasiswa Sosiologi angkatan 2009 yang sering termotivasi untuk membeli junk food karena termotivasi oleh teman-teman yang terlihat asik saat makan cimol kering yang mengandung MsG (Monosodium Glutamat), bahan pengawet yang merusak kerja otak khususnya. Selain itu makanan keripik berplastik (seperti Lays, Taro, Cheetos) merupakan makanan ringan yang banyak mengandung garam selain mengandung bahan pengawet, banyak makan garam akan menyebabkan hipertensi. Seperti dikatakan oleh Yusuf dan Ajeng Mahasiswa Sosiologi 2009 bahwa senyatanya mereka tau akan dampak mengkonsumsi junk food tapi mereka nekat mengkonsumsi karena rasanya yang enak, selain itu mereka juga suka membelinya di tempat yang bergengsi seperti mall.

Bourdieu, dengan melakukan kajian empiris mengemukakan tentang adanya perbedaan antar kelas dalam hal pola konsumsi dan gaya hidup, yang mencakup selera hobi, mobil, olah raga, musik, seni, buku bacaan, surat kabar, majalah khususnya dalam hal ini makanan dan minuman. Adanya tingkat dan perbedaan selera tersebut terkait dengan adanya sistem simbol yang tercipta dalam masyarakat[5]. Dewasa ini makanan menjadi sesuatu yang ironis ketika tidak lagi dianggap menjadi suatu kebutuhan pokok (basic to needs) tapi lifestyle dan penanda kelas sosial tertentu (basic to want). Sebenarnya makanan fast food ala warteg (warung tegalan) dari segi harga lebih terjangkau, akan tetapi pengaruh media melalui iklan, termotivasi oleh masyarakat (gengsi), lunch di Pizza Hut menjadi lebih bergengsi. Pizza merupakan simbol untuk makanan kelas atas, sehingga jika makan Pizza tergolong orang yang kaya atau gaul tidak masalah dimana Pizza di buat, berapa harganya dan parahnya mereka tidak peduli apakah makanan tersebut bergizi serta memberi efek buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi terus menerus atau tidak.

Masalah tidak hanya berhenti di tempat makan mewah yang higienis atau warteg, makanan mahal tidak selalu menghasilkan kemaslahatan, tapi makanan ala warteg yang murah juga bukan solusi untuk menghasilkan kehidupan yang sehat dengan makanan yang disajikan. Tetap saja kedua tempat ini sama-sama menghasilkan junk food, makanan yang rendah gizi yang lezat akibatnya selain penyakit juga timbul gizi buruk akibat salah mengkonsumsi makanan.

Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat melakukan pola konsumsi yang terarah dan sehat contohnya adalah tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan yang sebenarnya memang telah diketahui dampak buruknya, karena senyatanya bahwa junk food menjadi masalah dan menimbulkan ragam penyakit karena kesalahan intensitas konsumsinya. Konsumsi yang berlebihan dan hanya mengikuti trend dan nafsu akan berdampak negatif bagi tubuh.

Selain perspektif Bordieu, kami juga menggunakan Model “kepercayaan kesehatan” dari Rosenstock untuk mencoba menganalisis fenomena kemunculan dan konsumsi junk food yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat. Ini dikenal juga dengan health belief model. Percaya bahwa perilaku individu ditentukan motif dan kepercayannya, tanpa mempedulikan apakah motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Menurut Rosenstock individu baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut, jika tidak maka ia tidak akan melakukan apa-apa. Model kepercayaan kesehatan mencakup beberapa unsur yakni[6] :

  1. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit.
  2. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut.
  3. Faktor pencetus tindakan.
  4. Besarnya manfaat dikurangi besarnya kerugian tindakan yang dianjurkan.
  5. Variable demografis dan sosio-psikologis.

            Misalnya, mengapa orang-orang yang begitu menyukai makanan cemilan seperti keripik kentang, chiki, cheetos, taro, makanan berplastik hanya berisi angin dan tergolong mahal. Mereka segan menghentikan kebiasaan untuk membeli dan mengkonsumsi makanan seperti ini, meskipun makanan tersebut mengandung MsG dan bahan pengawet yang dapat mengakibatkan kanker, diabetes, hipertensi, bahkan resiko kematian. Bagi mereka mungkin ancaman terkena penyakit itu tidak dianggapnya sungguh-sungguh dan kerugian untuk menghentikan mengkonsumsi makanan tersebut dirasakan lebih berat daripada manfaatnya. Apalagi tidak ada faktor pencetusnya seperti sakit perut, flu, demam, diare, pusing-pusing, muntah. Lain halnya dengan pasien yang telah didiagnosa menderita kanker atau tumor. Mengingat keparahan penyakitnya itu dan pertimbangan keuntungan dari tindakan yang dianjurkan (dalam hal ini operasi, misalnya) maka dia akan mentaati nasihat dokter.

Seperti salah satu penuturan dari Rina Mahasiswa Sosiologi angkatan 2009 bahwa pernah beberapa kali ia merasakan sakit perut  setelah mengkonsumsi junk food seperti molring (cimol kering) yang rasanya sangat pedas dan asin yang biasa dijual dengan harga seribu rupiah. Makanan ini sebenarnya tidak masalah jika dikonsumsi sesekali, tapi menjadi masalah ketika tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tersebut tidak terbiasa dengan makanan pedas atau tidak kuat menahan bahan pengawet. Jika sebelumnya tidak pernah atau tidak terbiasa mengonsumsi makanan seperti ini, maka dapat beresiko diare. Selain itu tidak ada cara khusus untuk mengobati sakit perut yang kerap kali melanda setelah makan cimol kering ini. Anggapan awal memang sederhana yakni sakit perut, bisa jadi efek berkelanjutan pada sakit perut adalah timbul sel kanker pada di usus yang masih dianggap sakit perut biasa sehingga tidak perlu diperiksakan ke dokter.

            Dapat juga diakitkan dengan Teori Snehandu B.Kar, dengan 5 faktor perilaku konsumtif yakni B = f (BI, SS, AI, PA, AS).[7]

 

BI = Behavior Intention (niat untuk bertindak)

Seseorang mengkonsumsi junk food karena memang terdapat niat dalam dirinya pada makanan yang menurutnya enak, langsung dapat dimakan, sebagai teman dan sudah mengetahui dampak buruk bagi kesehatannya. Dengan niat ini maka ia mengkonsumsi secara rasional.

SS = Sosial Support (dukungan masyarakat)

Dukungan orang lain atau motivasi dari luar diri seseorang memiliki peran cukup besar, dimana informan “R” selaku mahasiswa termotivasi karena melihat teman-teman sebayanya yang terasa nikmat ketika mengkonsumsi junk food, juga informan “P” yang terbilang termotivasi dari orang lain karena tidak sempat repot sebagai mahasiswa yang memiliki banyak kegiatan.

AI = Accessebility of Information (adanya informasi)

Adanya informasi yang mendukung dapat diperoleh dari iklan ataupun dari teman yang membuat seseorang berkeinginan mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi tersebut. Daya tarik iklan maupun pengalaman teman sangat membantu bagi terbentuknya keinginan untuk mengkonsumsi junk food.

PA = Personal Autonommy (pengambilan keputusan)

Dalam hal ini seseorang sebelum mengkonsumsi junk food secara sadar akan mempertimbangkan kenapa ia mencoba mengkonsumsi ataupun tidak mengkonsumsi. Sehingga terdapat suatu tindakan berfikir sebelum ia memutuskan untuk melakukan atau tidak.

AS = Action Situation (situasi yang mendukung)

Situasi yang dapat dikatakan mendukung disini yaitu dimana seseorang dalam hal ini mahasiswa hidup ditengah-tengah trend global, adanya iklan, motivasi teman-teman, terdapat harga yang murah untuk makanan se-kelas junk food dengan rasa yang enak seperti gorengan atau bisa juga cuaca, telah mengakibatkan mereka rela untuk mengkonsumsi junk food.

Dari hasil pembahasan serta analisis di atas sedikit banyak telah memberikan gambaran akan pentingnya memilah dan memilih makanan yang memang bermanfaat bagi tubuh atau hanya sekedar memuaskan keinginan perut. Terkadang pola makan tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat ditengah banyaknya kegiatan yang dimiliki khususnya para mahasiswa. Tekanan arus global dengan makanan siap saji yang tergolong junk food mengancam tubuh dan kesehatan mereka yang masih membutuhkan asupan gizi untuk membekali tubuh mereka dari banyaknya aktivitas dan menangkal datangnya penyakit. Selain itu olah raga menjadi penting dalam hal ini karena olah raga akan mengeluarkan kotoran melalui keringat dan membuat badan menjadi bugar dan sehat sehingga tubuh dapat terhindar dari penyakit. Tidak kalah penting adalah selalu melakukan check-up ke dokter untuk menghindari berbagai dampak penyakit dan satu langkah lebih awal dalam penanganan penyakit akibat modernisasi yang tersalurkan melalui beraneka ragam makanan yang tergolong lezat dan murah seperti junk food.

Sebagai langkah penangkalan bahaya junk food, dapat dimulai dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang menggunakan bahan dan cara pengolahan yang benar. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia dapat mencontoh kebiasaan masyarakat barat yang menggencarkan gerakan slow food, dimana mereka sangat memperhatikan mulai dari perolehan bahan, proses memasak, dan pola makan. Masyarakat barat dapat menjadi kiblat bagi Indonesia karena mereka memiliki kesadaran akan pola makan yang semakin meningkat. Kesadaran masyarakat barat ini terbangun karena makin banyaknya dampak junk food yang mereka rasakan, obesitas misalnya. Masyarakat Indonesia tidak perlu menunggu sampai datangnya dampak serupa untuk menumbuhkan kesadaran berpola makan, karena masyarakat dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara lain.

LAMPIRAN :

Hasil wawancara pada empat mahasiswa Sosiologi angkatan 2009 :

  1. Ajeng sangat suka dengan makanan yang termasuk dalam kategori junk food. Hampir seminggu sekali, ada saja makanan berkategori junk food yang ia konsumsi. Biasanya, ia membeli di mall. Bahkan misalnya gorengan, bisa ia konsumsi setiap harinya. Ia mengaku kalau sebenarnya mengetahui dampak dari mengonsumsi makanan tersebut. Namun, ia tetap mengonsumsinya dikarenakan rasanya yang enak dan murah.
  2. Rina, suka dengan makanan yang termasuk junk food seperti gorengan, cemilan cimol kering pedas. Tapi intensitasnya tidak sering untuk memakannya, hanya jika ingin saja. Ia sudah mengetahui bahaya memakan makanan tersebut yang tidak sehat dan bisa membuat berat badan naik juga pernah merasakan sakit perut  dan diare setelah makan makanan tersebut, tapi tetap saja membeli dan memakanya karena ingin dan rasanya yang enak dan ia tidak pernah merasa kapok dan tidak pernah memeriksakan ke dokter karena di nilai sakitnya hanya karena makan-makanan sederhana ini. Selain motivasi sendiri untuk makan-makanan junk food ia juga terpengaruh oleh teman-temannya yang juga suka memakan makanan junk food yang sepertinya rasanya enak ketika teman-temannya memakannya.
  3. Yusuf, kerap kali sering membeli makanan junk food untuk dikonsumsi sehari – hari. Ketika ditanya lebih mendalam tentang makanan junk food, ia mengatakan bahwa cukup mengerti dan paham tentang pengertian makanan junk food dan jenis – jenisnya, bahkan ia pun juga mengerti tentang dampak buruk mengkonsumsi makanan junk food itu sendiri bagi kesehatan. Meskipun demikian, ia mengatakan bahwa makanan junk food tetap sering dikonsumsi sehari – hari disamping makanan yang lainnya. Alasan yang mendasarinya karena makanan junk food dianggap makanan yang enak, praktis dan tidak begitu repot dalam proses pembuatannya serta harganya yang dapat dikatakan lebih terjangkau dan murah.
  4. Puji, mengaku lumayan sering mengkonsumsi junk food yang berupa Indomie, dan sebagainya. Beliau mengetahui dampak-dampak buruk dari makan junk food yang salah satunya dapat mnyebabkan penyakit kanker, dan tentunya masih banyak penyakit lainnya. Namun mengkonsumsi junk food tersebut dilakukan karena “the power of kepepet”, indomie merupakan makanan yang harganya murah, merakyat dan terjangkau. selain itu ia merupakan anak kos, maka mengkonsumsi makanan seperti ini dinilai cepat dan praktis, sehingga menjadi alasan yang cukup mendasar. Adapun ketika orang mulai banyak mengkonsumsi junk food yang  harganya mahal, maka beliau menyatakan yang intinya bahwa terkadang pola konsumsi tersebut sebab orang yang mengkonsumsi ingin merepresentasikan kelas sosialnya. Dimana seakan-akan junk food yang mahal merupakan makanan berkelas, meskipun sesungguhnya dalam junk food tersebut terdapat kandungan bahan kimia yang kurang menyehatkan.

 

 

REFERENSI :

Chaney, David. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra

Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/post-modern/restoran-siap-saji-fast-food-dan-perubahan-gaya-hidup-life-style-di-negara-berkembang/mrdetail/10658/ di unduh pada 11 Mei 2012 pukul 16.19 WIB

http://food.detik.com/read/2011/06/14/170758/1660251/900/junkfood-bisa-beresiko-stroke?sbk900 di unduh pada 11 Mei 2012 pukul 16.30 WIB

Sosiologi Kesehatan 1.pdf. Sosiologi Kesehatan. Dosen Pengampu Argyo Demartoto, M.Si. Kontributor mahasiswa Jurusan Sosiologi Fisip UNS angkatan 2007. http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf di unduh pada 11 Mei 2012 pukul 19.33

http://novian-r-p-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-37217-Informasi%20dan%20Masyarakat-Budaya%20Konsumen.html diundug pada 11 Mei 2012 pukul 20.06 WIB.

http://kesmas-unsoed.blogspot.com/2011/02/makalah-konsumsi-makanan-siap-saji.html diunduh pada 13 Mei 2012 pukul 08.21 WIB

http://www.indoforum.org/t52274/#ixzz1uF2J9XyS diakses pada 8 Mei 2012 pukul 20.05.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KONSUMSI JUNK FOOD :

MAKANAN LEZAT RENDAH NUTRISI

Tugas Presentasi Mata Kuliah Kekuasaan dalam Dunia Medis

Dosen : Drs. Soenjoto, M.Si., Drs. Suharman, M.Si, Drs. Andreas Soeroso, M.S

 

 

 

Disususn Oleh :

                                                Andri Prasetya            (09/288750/SP/23768)

                                                Rusmayanti                 (09/288768/SP/23772)

                                                Nurmalita Sari             (09/288783/SP/23775)

                                                Rendy Riananda         (09/288874/SP/23791)


[1]  http://www.indoforum.org/t52274/#ixzz1uF2J9XyS diakses pada 8 Mei 2012 pukul 20.05.

[4] Sosiologi Kesehatan 1.pdf. Sosiologi Kesehatan. Dosen Pengampu Argyo Demartoto, M.Si. Kontributor mahasiswa Jurusan Sosiologi Fisip UNS angkatan 2007. http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf di unduh pada 11 Mei 2012 pukul 19.33

[6] Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan dan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya.Yogyakarta. 1993. Hal: 67

KULAP KEDOKTERAN DI GRUJUGAN

 

HASIL KULIAH LAPANGAN

KEKUASAAN DALAM DUNIA MEDIS

Nurmalita Sari

No. Absen : 44

 

  1. A.     HASIL WAWANCARA

Tiba di daerah penelitian kedua selain Nggeblak yakni kurang lebih pukul 10.30 WIB bertempat di sebuah posyandu bernama “Sekar” di Padukuhan Grujugan, Desa Tegaldowo yang terdiri dari masing-masing 5 RT. Penelitian yang saya lakukan khususnya berada di wilayah Padukuhan  Grujugan yang terdiri dari 5 RT yang letaknya tidak jauh dari Desa Observasi Nggeblak. Wilayah yang di observasi saya khususkan di RT 01. Di Padukuhan Grujugan terdapat 34 KK. Selama perjalanan menuju Padukuhan Grujugan, sekeliling desa masih asri dan dipenuhi persawahan dan bukit, sangat jauh dari hiruk pikuk kota Bantul, yang terlihat hanyalah kegiatan para petani yang tengah memanen padi di sawah.

Sesampainya di TKP, kami semua disambut dengan hangat oleh warga setempat, kemudian diperi penjalasan oleh Pak Dukuh mengenai wilayah Grujugan dan kesehatan masyarakat setempat secara umum, dimana pada tahun 1997 Padukuhan Grujugan sempat menjadi juara ke 2 TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Puskesmas terdekat dari padukuhan Grujugan adalah Puskesmas di Desa Nggeblak.

Beberapa saat setelah penjelasan, kami semua memulai untuk melakukan observasi keliling padukuhan untuk mencari responden, dimana saya memilih untuk mengobservasi mengenai fenomena “Dukun Bayi dan Perawatan Pasca Melahirkan” dipandu oleh Ibu Dinah (45 tahun) yang telah bersiap untuk diminta keterangan perihal dukun bayi dan perawatan persalinan. Beliau adalah salah seorang kader Posyandu yang juga menjadi responden pertama saya. Dukun bayi saya batasi dengan pengertian seseorang dengan kemampuan, keahlian baik turun temurun maupun tidak, dapat membantu jalannya proses persalinan, yang kemudian memakai remuan herbal sebagai obat penyembuhan persalinan ataupun jampe-jampe. Observasi yang dilakukan, menggunakan teknik snowball dimana menjaring satu responden terlebih dahulu yang kemudian menjaring responden lain melalui informasi dari responden peendahulu dalam hal ini Ibu. Dinah, dimana kriteria responden telah ditentukan sebelumnya. Selain itu poin-poin pokok pertanyaan juga telah disusun sebelumnya sebagai pathokan alur wawancara meliputi 5W+1H yang jawabannya terangkum dalam hasil wawancara dibawah ini.

Terdapat empat responden yang akan dijaring yakni ibu muda yang baru saja melahirkan, seorang ibu setengah baya dan ibu-ibu yang sudah lanjut usia, dengan harapan tiga responden yang berbeda usia dapat mewakili jawaban dari ibu-ibu yang seumur dengan responden yang telah dikelompokkan menurut usia. Satu responden lagi sebagai tambahan dan pelengkap dari keingintahuan lebih lanjut pada jawaban responden sebelumnya yakni dipilih seorang Pak Dukuh setempat dengan harapan pengetahuan akan masayarakat desa setempat lebih banyak.

Peralatan yang digunakan antara lain dashboard, alat tulis, handphone untuk video, kamera dan alat perekam suara agar dalam proses pembuatan laporan tidak kesulitan untuk menerjemahkan kata-kata lokal yang kurang dimengerti akibat kesulitan bahasa.

Sambil berkeliling mencari responden yang akan menjadi sasaran observasi, saya sempat bertanya pada Bu. Dinah mengenai keberadaan posyandu. Menurut penuturan beliau keberadaan posyandu di Padukuhan Grujugan kira-kira sudah 20 tahun semenjak beliau masih muda. Ketika ditanya mengenai permulaan kemajuan posyandu di desa tersebut, beliau menuturkan baru sekitar tahun 90-an, banyak petugas kesehatan yang masuk, posyandu di padukuhan ini mulai terlihat geliatnya. Sekarang ini terdapat 12 orang termasuk Ibu. Dinah sebagai pengurus atau kader posyandu. Posyandu ini juga melakukan pemeriksaan ibu dan bayi pasca kelahiran meliputi penimbangan badan dan pemberian Vitamin A. Hal ini dilakukan untuk melihat progres kesehatan bayi. Setiap data yang masuk akan segera diolah dan dilaporkan pada puskesmas setempat untuk ditindaklanjuti.

Responden pertama, Ibu. Dinah (45 tahun), memiliki dua orang anak, yang pertama lahir di tahun 90-an akhir dan anak kedua lahir di tahun 1997 akhir. Proses wawancara dengan Bu. Dinah berlangsung dengan lancar karena dapat menjawab dan memahami dengan Bahasa Indonesia walaupun terkadang berampur dengan Bahasa Jawa.

Proses persalinan kedua anaknya berjalan secara normal. Menurut penuturan beliau, di tahun 90-an ketika ia akan melahirkan anak pertamanya belum banyak bidan di desanya bahkan di sekitar Padukuhan Grujugan. Dahulu menurutnya, orang-orang masih menggunakan dukun bayi. Walaupun ada bidan, itu juga sulit di dapat. Maka dari itu, ketika melahirkan anak pertamanya, ia memakai jasa dukun bayi dimana juga ada bidan saat persalinan, namun bidan saat itu hanya sebagai orang yang mendampingi keberadaan dukun bayi yang menjadi aktor utama. Selain itu, bidan juga sangat jarang untuk dijumpai sehingga jarang pula ibu-ibu yang melairkan dengan menggunakan jassa bidan.

Menurut beliau, saat itu tidak merasa takut melahirkan menggunakan jasa dukun bayi, karena melahirkan hanya masalah proses mengeluarkan bayi dalam rahim, tidak ada kegiatan medis yang khusus ataupun teknik-teknik media lainnya, sehingga tinggal bagaimana menunggu bayi keluar dari perutnya. Bayaran untuk dukun bayipun sangat amat terjangkau atau bisa dikatakan seikhlasnya “monggo kerso”. Tidak heran banyak orang memilih menggunakan jasa dukun bayi (sebelum ada program Jamkesmas dan Jamkesos). Saat ini biaya persalinan dengan jasa bidan juga sudah mulai mahal sekitar delapan ratus ribuan keatas.

Pada persalinan anak keduanya yang lahir ditahun 1997 akhir, Ibu. Dinah menggunakan jasa bidan. Saat ditanya alasannya, beliau menuturkan bahwa ia hanya mengikuti perkembangan jaman saja karena beliau sudah merasa takut jika terdapat hal yang tidak diinginkan, karena sudah terdapat bidan, maka ia menggunakan bidan. Selain itu dukun bayi yang ada di satu RT dengan beliau yakni Mbah. Durahmadi yang kini berusia 75 tahun memiliki sifat yang kurang menyenangkan, sehingga ia tidak memakainya lagi (bukan untuk persalinan tapi untuk pijat).

Pada kelahiran anak pertama yang lahir 90-an, proses pemutusan tali pusar dilakukan dengan menggunakan bambu yang sudah dicuci dengan air hangat, menurutnya itu sakit tapi ya tetap biasa saja. Sedangakan anak kedua sudah memakai peralatan medis seperti alkohol dan sebagainya. Pada pasca persalinan anak pertama, beliau menuturkan bahwa lepasnya ari-ari si kecil sekitar 4 hari setelah ia lahir sedangkan anak kedua 6 hari setelahnya. Beliau juga menyatakan bahwa obat dari dukun sebenarnya lebih cepat bereaksi dan manjur daripada dari bidan. Selain itu menurutnya, pada saat ia melahirkan tahun 90-an, bukan orang yang hamil datang ke bidan, puskesmas atau rumah sakit, tapi orang-orang ahli tersebut yang datang ke rumah orang yang akan melahirkan, menurutnya ini sudah menjadi hal yang biasa bagi warga Grujugan. Tapi semenjak berkembangnya zaman, banyak tenaga medis, dan masuk ke desa-desa, banyak tempat bersalin yang sudah modern, banyak orang yang akan melahirkan justru yang harus menghampiri tempat tersebut. Ini dikarenakan dulu rumah memang tempat yang paling nyaman dan murah meriah. Pada saat kehamilan anak pertama dan kedua, cek kontrol kehamilan selalu rutin dijalankan namun kegiatan seperti senam ibu hamil yang banyak dilakukan oleh ibu hamil sekarang ini, bahkan USG tidak pernah.

Pasca melahirkan, Ibu. Dinah juga memijatkan bayi “ndadah bayi” pada dukun bayi. Menurut beliau, sebenarnya “ndadah bayi” tidak wajib dilakukan, tapi untuk kebutuhan dan seperlunya saja. Bagi siapa yang mau melakukan itu baik, tapi tidak melakukan juga tidak masalah. Untuk pemulihan kesehatannya sendiri, beliau sering minum jamu, karena jamu ternyata juga menambah deras ASI. Khusunya jamu pahit daun pepaya.

Responden kedua, Ibu. Ambar (34 tahun) yang merupakan warga pendatang, seorang Ibu rumah tangga yang baru melahirkan seorang anak perempuan bernama Ganis 5 bulan yang lalu. Ganis merupakan anak kedua dari pasangan Ibu Ambar dan Pak Suyatman (35 tahun). Ganis memiliki seorang kakak perempuan berumur 9 tahun. Saat ditemui di rumahnya yang tidak jauh dari Posyandu Sekar, Ibu. Ambar sedang menggendong bayinya di depan rumah dan menemani anak perempuan pertamanya bermain.

Menurut Ibu. Ambar, kedua anaknya lahir menggunakan jasa bidan. Anak pertamanya di lahirkan di rumah bidan yang terdapat di daerah Sewon pada tahun 2003, sedangkan anak keduanya, persalinan dilakukan di rumah sakit. Alasan persalinan anak kedua lebih memilih di rumah sakit, karena beliau sudah memiliki Jampersal (untuk persalinan), sehingga sayang  jika tidak digunakan. Semua hal seperti kontrol, cek kehamilan dilakukan dengan biaya gratis di puskesmas dan rumah sakit, kecuali USG yang  dilakukan di Dokter dengan inisiatif sendiri bersama suami.

Ibu. Ambar ini adalah orang yang lebih mempercayai tenaga medis modern seperti bidan dan dokter di rumah sakit dan memilih untuk tidak melahirkan di rumah apalagi menggunakan dukun bayi karena takut ada hal yang tidak diinginkan dengan kandungannya, sehingga beliau tidak mempercayai keahlian dukun bayi. Saat hamil, beliau lebih sering melakukan cek ke puskesmas daripada ke dokter karena tidak mampu membiayai. Saat itu Ibu. Ambar  menceritakan pengalamannya cek up ke puskesmas bahwa, kata bidan di puskesmas, bayinya yang kedua ini akan lahir kurus dan kecil, sehingga beliau dan suami merasa  ketakutan apabila terjadi hal yang mengerikan. Dengan inisiatif sendiri dan suaminya, mereka baru memeriksakan untuk pergi USG ke dokter. Hal ini bukan merupakan anjuran dari puskesmas tapi inisiatif dari Ibu. Ambar dan Pak Suyatman karena terlalu khawatir, dan setelah USG, dokter mengatakan tidak ada masalah. Masa kehamilan Ganis, Ibu Ambar hanya melakukan cek kontrol kehamilan seperti halnya ibu-ibu hamil lainnya tapi tidak dengan senam ibu hamil.

Pasca melahirkan yang dilakukan untuk Ganis hanyalah “ndadah” atau pijat bayi dengan memakai jasa petugas kesehatan keliling dimana petugas kesehatan tersebut telah dilatih sebelumnya yang diadakan oleh puskesmas. Pijat bayi, ini biasa dilakukan dua minggu sekali dengan biaya 50.000 rupiah selama 7 kali. Sama halnya dengan Ganis, Ibu Ambar juga melakukan pijat urut memakai jasa petugas kesehatan yang sama pula untuk pemulihan kesehatan pasca kelahiran anak keduanya tersebut. Selain melakukan pijat urut, Ibu. Ambar juga meminum jamu-jamuan, jamu daun pepaya dan  “uyup-uyup” agar ASI lancar, namun jika obat yang diberikan dari rumah sakit setelah proses kelahiran telah habis.

Petugas kesehatan tersebut adalah orang biasa atau orang-orang di desa tersebut yang mulanya merupakan orang yang bisa atau memiliki keahlian memijat ataupun sama sekali tidak, untuk ikut dan mendaftar program dari puskesmas yang memberikan pendidikan dan pelatihan bagi 11 orang warga Sewon. Bahkan ada beberapa warga yang diusulkan oleh warga setempat untuk menerima pelatihan termasuk Mbah. Durahmadi (dukun bayi RT 1). Dari ke 11 orang yang ikut ternyata hanya 2 orang yang lulus dengan baik. Mbah Durahmadi yang dulunya merupakan dukun bayi dan pijat sebeanrnya juga diusulkan oleh Pak Dukuh untuk menerima pendidikan dan pelatihan, namun umur Mbah. Durahmadi sudah menginjak usia senja, sehingga mbah durahmadi pun juga tidak bersedia.

Pijat urut yang dilakukan oleh Ganis, biasanya hanya dilakukan selama 10 menit. Bu. Ambar mengatakan bahwa jika yang biasanya Ganis selalu rutin untuk pijat, dan kemudian selanjutnya tidak (tidak berkelanjutan), bayi Ganis sering menangis. Pijat urut dilakukan seminggu sekali setiap Hari Sabtu. Ganis melakukan pijat urut dari usia 10 hari sampai sekarang. Persalinan Ibu. Ambar dari anak pertama hingga kedua semua berjalan secara normal.

Responden ketiga, Ibu. DullahHadi (75 tahun). Saat ditemui di rumahnya, beliau tengah membersihkan dengan menyapu halaman depan rumah. Sangat ramahnya beliau menerima kedatangan kami membuat kami tidak begitu sungkan untuk bertanya-tanya karena beliau termasuk wanita yang sudah memasuki usia senja dimana masa ini untuk melakukan sebuah wawancara cukup sulit, namun ternyata dengan gaya humorisnya beliau, saya dapat bertanya-tanya dengan lebih santai. Selain itu dalam proses wawancara dengan beliau, saya harus menggunakan setidaknya bahasa jawa ngoko jika bahasa kromo belum fasih, karena beliau sedikit kurang mengerti dengan bahasa indonesia.

Ibu. Dullah Hadi memiliki 6 orang anak, tiga orang putri dan tiga orang putra. Anak pertama lahir ditahun 1955 sedangkan anak paling kecil lahir ditahun 1976 dan semua anaknya telah menikah. Proses kelahiran keenam anaknya dilakukan secara normal. Beliau mengatakan bahwa semua proses kelahiran anaknya menggunakan jasa dukun bayi, karena jaman dimana proses kehamilan dan kelahiran anak-anaknya sangat jarang ditemui adanya bidan dan dokter di lingkungan sekitarnya. Dukun bayi didatangkan ke rumah langsung untuk membantu proses persalinan. Tidak seperti sekarang dimana seorang ibu hamil harus langsung datang ke rumah bersalin apabila terjadi kotraksi.  

Beliau menjelaskan bagaimana ia mendeteksi selama 6 kali berturut-turut ketika akan melahirkan, apabila merasa perutnya telah cukup membesar, terasa nyeri pada perut, pegal di punggung, maka ia sudah merasa bayi akan lahir.

            “anggre kroso loro-loro, gegere pegel, nyeri-nyeri weteng, bayine njuk mlayu”

Maksud “mlayu” disini adalah bukan berlari, namun keluar dari peut.

Selain itu, jikalaupun ada, beliau tetap mengatakan untuk memilih dukun bayi sebagai orang yang diinginkan untuk membantu proses persalinan, karena biaya untuk meminta jasa dari dukun lebih murah dan mudah.

            “ning dukun thithik ragadte, ming sak karepe, nek dukun 5 sen”

Selain itu, bleliau juga menggambarkan bahwa pembayaran tidak hanya dilakukan dengan uang, tapi masyarakat dulu suka memberikan apa yang disebut beliau sebagai “abon-abon” atau kita kenal dengan sumbangan bahan-bahan pokok yang biasanya diperlukan.

“ mbayare ngge abon-abon, beras, gulo, teh, kinang, njuk mbayare dewe, babaran, puputan, selapanan”

Maksudnya adalah, diberikan saat dan sebagai upah untuk jasa setelah persalinan, anak beranjak besar dan delapan bulan. Ini merupakan tradisi turun temurun yang sekarang sudah jarang bahkan hampir tidak ada lagi.

Beliau mengatakan bahwa dulu keberadaan dukun bayi juga tidak banyak, bahkan beliau juga tidak memakai jasa Mbah. Durahmadi yang tenar sebagai dukun bayi, yang keberadaanya hanya satu-satunya di padukuhan Grujugan, karena pada masa persalinan anak-anaknya, mbah. Durahmadi belum menjadi seorang dukun bayi. Menurut beliau orang sekarang tidak lagi mau ke dukun, selain sangat jarang bahkan sulit ditemukan, orang-orang juga takut bila harus melahirkan melalui dukun karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menurutnya dukun bayi yang ada merupakan dukun asal dukun, bukan dukun seperti layaknya memakai sesaji, namun orang yang dianggap memiliki kemampuan, tahu dan bisa membantu proses persalinan sehingga diberikan julukan dukun bayi. Lain halnya dengan dukun bayi yang sekarang, yang telah terlatih (baca: bidan)

Masa kehamilan semua anak-anak beliau dijalani dengan santai, bahkan tidak ada kegiatan khusus yang harus dijalani seperti kebanyakan ibu-ibu hamil sekarang, seperti makan makanan bergizi empat sehat, minum susu, senam ibu hamil, istirahat cukup, konsultasi ke dokter harus dua minggu sekali dsb, namun ternyata beliau tetap menjalani kegiatan seperti “macul, matun, ndaut”, dan saat persalinanpun tidak merasakan hal-hal yang menyulitkan karena kegiatannya ini. Penjelasan beliau bahwa masyarakat sekarang banyak kegiatan dan banyak ragam penyakit atau kejadian yang dialami saat kehamilan. Beliau juga heran karena ibu-ibu jaman sekarang cara persalinannya begitu repot dan “aneh-aneh”, karena pernah ada tetangga beliau yang melahirkan bayi sungsang baru-baru ini.

“pas meteng mangane nggih ming godhong-godhongan, bung, gori, ra koyo sakniki endhok-endhok, iwak-iwak”.

Saat kehamilan, makanan yang dimakan oleh beliau adalah sayur mayur yang dipetik dari kebun, dan seadanya tidak seperti sekarang yang sudah banyak tuntutan untuk makan-makanan beserta lauk-pauk.

Saat ditanya mengenai bagaimana proses setelah bayi keluar dari perut, beliau menjelaskan bahwa pemutusan tali pusar yang biasa dilakukan oleh dukun bayi adalah dengan menggunakan bambu tipis yang telah dicuci bersih, kemudian bagian yang terkena darah diolesi dengan puyang dengan anggapan bahwa puyang dapat menghilangkan bau amis, selain puyang, dukun bayi juga menggunakan resep olesan cabe, agar bagian yang terasa sakit bisa terasa tidak sakit karena diredam oleh panas cabe. Masyarakat dulu juga memakai “omah tawon” yang kemudian diremas dan dioleskan pada “ari-ari” bayi yang baru saja dipotong agar tidak sakit dan cepat putus dari pusar sang bayi. Menurut beliau, menggunakan cara-cara seperti ini dibolehkan, namun sekarang sudah tidak dibolehkan lagi.

Pasca kehamilan, sama seperti yang dilakukan dua responden sebelumnya, yakni melakukan pijat bayi atau dikenal dengan nama “ndadah bayi” yang dilakukan seminggu sekali sampai delapan bulan kemudian, ini bukan merupakan kemauan si dukun bayi, tapi memang masing-masing orang tua menginginkan bayinya untuk dipijat. Menurut beliau, dulu semua anaknya tidak ada yang menjalani kontrol atau cek kesehatan setelah lahir karena memang jauhnya dari pusat kesehatan, jarangnya bidan atau dokter, bahkan tidak ada posyandu seperti sekarang yang begitu aktif berjalan di setiap pedukuhan,. Jika sakit, beliau hanya menggunakan obat-obatan alami seadanya.

Diakhir wawancarasaya sempat menanyakan alasan memiliki banyak anak hingga enam anak, seperti kita ketahui bersama bahwa bagaimana proses persalinan begitu sakit dan perih, tapi orang-orang jaman dulu banyak yang memiliki anak lebih dari lima orang, berbeda dengan sekarang yang takut dengan banyak anak bahkan takut untuk melahirkan. Menurut beliau memiliki banyak anak adalah hal yang menyenangkan, selain tidak ada yang mengingatkan untuk membatasi jumlah anak seperti KB, banyak anak akan membawa rezeki tersendiri.

“kulo ming tengak tenguk ngoten we, do ngeteri duit, ngeteri lawuh, pangan, teri wedang. Siji ra ngeteri, siji ngeteri”.

Maksudnya kenikmatan menurut beliau ini adalah kenikmatan dihari tua, banyak anak memperhatikannya dengan sering memberi uang, makanan, dimana jika satu anak tidak memberikan, anak yang lain memberikan, dan ini diterima dari anak-anaknya secara bergantian.

Responden keempat, Pak. Ponidi (56 tahun). Pak. Ponidi adalah seorang Kepala Dukuh di wilayah observasi berlangsung yakni di Padukuhan Grujugan. Beliau telah menjabat sebagai dukuh sejak tahun 1990. Tidak heran jika beliau ini sangat lama menjadi Dukuh karena memang keberaniannya membela masyarakat sekitar seperti dalam keberaniannya menuntut pemerintah jika dalam kepemilikan JAMKESMAS dipersulit, dalam arti masih harus membayar ketika berobat atau melakukan persalinan di rumah sakit. Beliau memiliki tiga orang anak dan empat cucu. Anak pertama lahir tahun 1978 dan anak terakhir lahir di tahun 1982. Saat ditemui, beliau sedang duduk-duduk santai di teras rumahnya, sehingga bisa lebih nyaman untuk melakukan kegiatan wawancara.

Saat ditanya mengenai proses kelahiran anaknya, beliau menuturkan bahwa semua anaknya lahir dengan menggunakan jasa bidan, dimana bidan datang setelah anaknya lahir dengan kata lain bayi keluar dari perut ibu, baru kemudian bidan dipanggil, karena memang selain bidan sangat jarang ditemui juga letak rumah bidan atau rumah sakit yang memang jauh dari Padukuhan Grujugan saat itu. Beliau juga menjelaskan bahwa sekarang dukun bayi yang akan menjalankan praktek harus memiliki surat ijin dari dinas kesehatan setempat, bidan maupun dokter. Sehingga jika tidak memiliki surat tersebut, tidak boleh melakukan praktek persalinan. Pak Ponidi hanya menggunakan jasa dukun bayi saat proses “ndadah bayi” saja.

Menurut beliau proses kelahiran hanya masalah bayi yang akan keluar dan sebenarnya ada atau tidak adanya bidan adalah sama saja, tidak ada masalah, karena sepengetahuan beliau dari pengalaman mengantarkan istrinya atau membantu tetangga yang akan melahirkan, proses persalinan hanya tinggal menunggu bayi keluar dari perut, tidak ada proses atau ritual khusus yang dilakukan seorang bidan atau dukun bayi.

“jane niku ki dukun opo e bidan ngge mung ngentani lair nggeh ming  lair dewe ndadak di karoke. Nuwun sewu nggih mbak, umpomo dinengke wae we lahir dewe og mbak”.

Jaman dulu, tali pusar dipotong memakai bambu tidak ada masalah, namun sekarang berbeda karena sudah banyak peralatan yang lebih baik dan lebih steril. Menurut penuturannya, keanehan yang terjadi pada kelahiran bayi dikarenakan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat dan lebih banyak penyakit, yang berbeda dengan dahulu. Selain itu dengan banyaknya penyakit dan sudah adanya kemajuan di bidang kesehatan, banyak terdapat kekhawatiran masayarakat terhadap penyakit dan kesehatan itu sendiri.

Pak Ponidi juga pernah merasakan proses kelahiran anak pertamanya tahun 1978 yang sangat panjang dan lama yakni tiga hari tiga malam untuk menunggu anaknya keluar dari perut selama terjadi kontraksi dengan ditunggu oleh dukun bayi, hingga kemudian beliau mau tidak mau memutuskan untuk membawa istrinya ke rumah sakit yang jaraknya sangat jauh yakni di dekat sumur gumuling kraton atau sebelah timur taman sari yang sekarang dijadikan sekolah.

Untuk saat ini Pak. Ponidi lebih menyarankan agar masyarakat melakukan persalinan dan berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena telah memiliki Jamkesmas, sehingga harus dimanfaatkan sebaik mungkin agar tidak sia-sia. Banyak orang dulu lebih memilih melahirkan di rumah karena lebih merasa aman karena ditunggu oleh banyak orang, dari pada di rumah sakit yang relatif sepi dan tidak ada orang yang datang untuk perhatian dan memperhatikan proses kelahiran.

“ning bidan niku ngangkang ngoten mung dinengke wae, ten rumah sakit rak ngoten, nuwun sewu nggih, nek tibo tangi ning rumah sakit rak dinengke wae, nek ten ngomah rak dikruyuk wong akeh, mbuh dipijeti mbuh piye, dadi do seneng nek bayen ten ngomah, ha ning rumah sakit niku mboten oleh wong mlebu og”.

Sebelum adanya Jamkesmas masuk desa, beliau juga lebih menyarankan untuk ke puskesmas atau rumah sakit bagi yang memiliki biaya, karena ditakutkan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, ini juga tergantung kesulitan. Menurutnya, apabila dirasa proses kelahiran akan sulit, dianjurkan untuk ke rumah sakit atau ke bidan, tapi jika tidak, tidak apa-apa untuk dilakukan di rumah, karena sekarang bukannya dukun bayi atau bidan yang datang ke rumah, tapi kita yang harus mempersiapkan proses kelahiran dan datang langsung ke bidan atau rumah sakit. Menurutnya dukun sekarang ini juga sudah jarang keberadaanya karena tidak laku lagi semenjak kemunculan penyuluhan kesehatan dan puskesmas,  hal ini ia rasakan sejak inpres tahun 85an. Masyarakat lebih sadar akan kesehatan

“nek ning dukun ki sok-sok peralatane, nek ning bidan rak terjamin to mbak. Nuwun sewu nggih mbak, nek dukun niku nguyel-nguyel bayi rak tangane iseh kotor to”.

Selain itu diakhir wawancara beliau menjelaskan mengenai Jamkesmas  yang hanya bisa dipakai jika masyarakat melakukan cek kesehatan kehamilan atau imunisasi bayi mereka di puskesmas atau ke rumah sakit, bukan bidan atau dokter, karena keduanya merupakan kerja pribadi. Mereka tidak mau jika tidak dibayar.

“nek bidan ro dokter itu nggak bisa mbak, niku kan pribadi niku dadi kudu mbayar, ra gelem nek ra dibayar, dokter we leh sekolah do larang-larang to, dokter niku ngeten, yo nulung, nulung, tapi pribadi ngge pribadi”.

 

 

 

  1. B.     ANALISIS DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil wawancara diatas, keempat responden yang telah di wawancarai mengemukakan persepsinya mengenai penggunaan jasa dukun bayi secara berbeda-beda. Kelompok Usia diatas 70 tahun yang memang melaksanakan proses persalinan di era 50-60an lebih memilih menggunakan dukun bayi karena harga yang murah dan belum adanya tenaga medis saat itu. Sedangkan kelompok Usia 50 tahun yang melahirkan anaknya di era 90-an dengan mulai banyaknya tenaga medis, masih bisa meyakini kemampuan dukun bayi karena walaupun telah banyak bermunculan tenaga medis namun senyatanya masih susah untuk ditemui dan jaraknya jauh dari desa setempat, prosesnya pun juga lebih mudah melalui dukun bayi. Era ini sudah sedikit mengalami transisi, sedangkan bagi kelompok Usia 30 tahun sama sekali tidak meyakini kemampuan dukun bayi dan lebih memilih bidan atau dokter karena jaminan keselamatan selain karena mereka telah memiliki Jampersal.

                Fenomena ini menyiratkan bahwa perkembangan masyarakat menuju kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi, ikut mengubah pula pola pikir masyarakat menjadi lebih rasional. Ini ditandai dengan berubahnya pola pikir masyarakat yang melahirkan era 60-an dengan 90-an bahkan era saat ini mengenai kesehatan dan keselamatan persalinan. Menilik tiga tahap perkembangan peradaban manusia menurut August Comte, masyarakat yang melakukan persalinan di era 60-an dapat dimasukan dalam kategori teologis, bahwa masyarakat lebih mempercayai dukun beranak karena keahlian spiritual yang dapat melaksanakan proses persalinan dengan menggunakan cara tradisional yang berpengaruh, dan hidup ataupun mati dipasrahkan oleh Tuhan. Selanjutnya adalah masyarakat pada tahap metafisik yang digambarkan masyarakat yang melakukan persalinan di era 90-an, tahap transisi masyarakat yang mulai modern dan percaya bahwa kesembuhan akan tercapai dengan pengetahuan akan kesehatan, dengan masuknya inpres dan berlanjut tahun demi tahun sehingga banyak puskesmas dan bertambahnya tenaga medis yang mesuk ke desa, memberikan penyuluhan yang memiliki kekuatan pengaruh karena tenaga medis memiliki alat canggih yang dapat membuat masyarakat percaya akan kesembuhan dari mereka yang berpendidikan. Era positivis berada pada masyarakat yang melakukan persalinan di era 2000an, dimana pengetahuan akan kesehatan semakin berkembang dengan banyaknya penyakit dan kesadaran masyarakan untuk sehat. Masyarakat sudah mulai berpikir maju dan lebih rasional dengan gejala yang terjadi. Adanya kelahiran bayi tidak normal dan berbagai gejala penyakit tidak lagi diyakini sebagai kutukan yang diperoleh baik dari turun temurun maupun efek lingkungan dimana ia tinggal, tapi memang terdapat pola perilaku yang salah dan kebiasaan yang kurang terarah.

                Masyarakat dulu boleh mengatakan bahwa memakai jasa dukun tidak menimbulkan efek apapun, baik menggunakan bambu untuk memotong tali pusar, cabe untuk meredam rasa sakit dan puyang untuk menghilangkan bau amis. Ini merupakan hal yang wajar karena perilaku masyarakat dahulu masih tradisional dan perilakunya masih sederhana. Dengan berjalannya waktu, pengetahuan masyarakat akan kesehatan berkembang bermunculan teknologi-teknologi yang diciptakan untuk memepermudah dan memberikan kemaslahatan yang senyatanya memunculkan efek yang buruk bagi kehidupan. Contohnya seperti di bangunnya pabrik-pabrik yang kemudian polutan yang dihasilkan mengakibatkan penyakit, sesuatu yang dulunya dianggap steril, sekarang sudah tidak lagi menjadi steril karena keinginan manusia yang ingin selalu mendapatkan kemudahan. Pola makan juga tidak lagi dapat diatur dengan bermunculannya makanan-makanan instan dan meninggalkan makanan alami sperti sayur mayur dan buah-buahan, buah-buahan dan sayuranpun banyak yang tidak layak karena pemupukan yang menggunakan bahan kimia yang tidak diolah secara baik oleh masyarakat yang mengkonsumsi. Dukun bayi yang biasanya memakai bambu, puyang dan cabe tidak lagi mempan untuk masyarakat sekarang karena bambu dan air untuk mencuci sudah tercemar polusi, karena kepercayaan masyarakat modern yang tidak percaya terhadap obat-obatan tradisional, membuat pengobatan seperti itu sudah terpental dari keyakinan mereka sendiri, tubuh masyarakat modern sudah terkontaminasi dengan berbagai kandungan-kandungan bahan kimia yang sangat kompleks sehingga tidak mudah untuk segera melakukan penyembuhan dengan menggunakan obat-obatan tradisional maka dari itulah, muncul teknologi USG, alkohol, jarum suntik dan berbagai macam peralatan kedokteran bagi penanganan kehamilan dan persalinan lainnya.

                Masyarakat pedesaan terkadang kurang menyadari bahwa tidak adanya permasalahan penggunaan bahan tradisional yang tidak sesuai dosis atau pemakaian peralatan yang kurang steril dampak jangka panjang akan menimbulkan masalah kesehatan. Kekurangsadaran dan kekurang perhatian terhadap hal tersebut membuat gangguan kesehatan atau penyakit menjadi tertimbun dan kabur karena keyakinannya akan kepercayaan kesembuhan dengan teknik tradisional. Namun dampak positifnya, mereka dapat dengan baik menggunakan pemikiran “yakin” pada teknik tradisional, karena memuliki sikap optimis, dan rileks yang dalam pandangan tri-energetik akan mendukung usaha penyembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berpikiran negatif, pesimis, dan tidak memiliki gairah hidup sehingga tidak banyak kejadian yang aneh seperti apa yang diungkapkan oleh responden ketiga Ibu. Dullahhadi selama pra, saat maupun pasca kelahiran.

                Dari informasi yang didapatkan dari responden memang tidak ada banyak keluhan mengenai masa kehamilan, persalinan maupun pasca kelahiran. Inilah yang mengakibatkan masyarakat belum menemukan kekhawatiran yang berlebih terhadap dampak yang ditimbulkan dari teknik tradisional menggunakan dukun bayi. Hanya saja informasi yang masuk dari tenaga-tenaga medis melalui berbagai penyuluhan tentang kesehatan yang membuat mereka memiliki pengetahuan lebih luas mengenai dampak yang ditimbulkan dari pengobatan tradisional, sehingga masyarakat sekarang lebih memilih dan mempercayai tenaga medis yang dianggap lebih terdidik, terlatih dan memiliki suatu peralatan modern yang digunakan sebagai acuan bagaimana ahlinya tenaga medis tersebut.

                Dalam dunia pengobatan kita mengenal istilah pengobatan medis modern dan tradisional atau non-medis yakni upaya pengobatan atau perawatan di luar ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Kleinman membuat klasifikasi dengan membedakan tiga macam pelayanan medis lokal (local health care systems), yaitu sistem pelayanan kesehatan populer (popular), sistem pelayanan kesehatan rakyat (folk), dan pelayanan kesehatan profesional yang berorientasi ke biomedisa Barat. Terkadang yang tradisional tersebut sering dikaitkan dengan apa yang disebut dengan alternatif. Pengobatan alternatif tumbuh dan berkembang karena dinilai lebih baik daripada sistem medis konvensional, adanya kesadaran bahwa sistem medis konvensional pun mempunyai keterbatasan, biaya alternatif lebih murah daripada biaya sistem medis konvensional. Kalangie mengidentifikasikan lima faktor yang mendasari keputusan seseorang untuk memilih suatu sistem medis tertentu, yaitu gambaran mengenai kegawatan penyakit, pengalaman di masa lalu dengan berbagai sistem medis, pengetahuan dan keterampilan terapeutik dalam keluarga dan nasihat pihak lain, biaya komparatif sistem medis berbeda, dan kenyamanan relatif dan ketersediaan sistem medis[1]. Mungkin inilah yang terjadi pada masyarakat di Padukuhan Grujugan. Selain itu menurut teori aksi Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Masyarakat dulu, lebih memilih dukun beranak karena pertama memang belum banyak bahkan belum ada bidan atau dokter, akses menuju tenaga medis tidaklah semudah sekarang, kedua adalah dari segi kenyamanan, dan ekonomi masih menjadi prioritas. Masyarakat juga mempersepsikan bahwa memakai dukun akan baik-baik saja karena telah banyak pengalaman dan pemahaman tentang apa yang pernah dialami masyarakat yang pernah menggunakan jasa dukun bayi sebelumnya bahwa memang tidak ada masalah. Sedangkan masyarakat sekarang, bahwa sudah banyak tanaga medis modern ditambah Jamkesmas serta pengetahuan mengenai banyaknya kematian Ibu dan Anak saat persalinan membuat masyarakat lebih berpikir ulang senyatanya memakai tindakan medis lebih baik walaupun memakai dukun bayi juga tidak buruk. Akses yang lebih baik daripada dahulu telah membuat mereka lebih dapat menjangkau pelayanan medis modern.

                Usaha kesehatan masyarakat penting untuk membangun suatu masyarakat. Bahwa usaha-usaha kesehatan masyarakat telah meningkatkan jumlah dan kwalitas dari tenaga-tenaga produktif. Juga suatu usaha kesehatan masyarakat yang berhasil cenderung untuk merubah pandangan umum hidup dari suatu masyarakat kearah yang lebih baik yaitu kesadaran bahwa perubahan adalah dimungkinkan, sehingga dapat mendorong mereka berfikir lebih inovatif[2]. Pemilihan dukun dari pada bidan atau dokter karena biaya yang murah, dan memilih berobat ke rumah sakit dari pada dukun karena mendapat Jamkesmas, Jampersal menandakan bahwa demi kesehatan dan keselamatanpun, masyarakat masih terlalu “irit” dan belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan rohani mereka akan kesehatan. Gambaran masyarakat Grujugan dapat dilihat seperti model keyakinan sehat (health believe model) yang dikembangkan oleh Rosenstock. Empat keyakinan utama yang didefinisikan dalam model HBM yaitu keyakinan tentang kerentanan kita terhadap keadaan sakit, keyakinan tentang keseriusan atau keganasan penyakit, keyakinan tentang kemungkinan biaya, dan terakhir keyakinan tentang efektivitas tindakan ini sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif[3].

                Ahli psikologi sosial Maslow mengembangkan teori hirarki motivasi yang menunjukan tingkatan motivasi individu yang dilakukan secara bertahap dimulai dari yang dasar. Artinya sebelum kebutuhan dasar terpenuhi, individu belum termotivasi untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan dll[4]. inilah yang dapat menggambarkan warga Grujugan dari hasil penelitian, bahwa bagaimana uang (faktor ekonomi) begitu berharga bagi pemenuhan kebutuhan dasar paling awal dibanding dengan kebutuhan akan kesehatan, keamanan dan keselamatan. Kalaupun bisa mereka lebih memilih untuk menggunakan jasa persalinan yang paling murah dan dukun bayi menjadi alternatifnya meskipun mereka mengetahui dampak yang akan terjadi, karena memang ini adalah pilihan terakhir bagi mereka ketika biaya rumah sakit mahal, jauhnya jarak rumah sakit dan akses menuju dokter atau bidan. Selain itu peran lingkungan dan modal sosial yakni ikatan sosial kuat pada masyarakat Grujugan pada era Ibu. Dullahadi juga begitu berpengaruh bagaimana si dukun bayi seorang yang ia percaya dapat membantu proses persalinannya dan selanjutnya mepengaruhi pula tetangga-tetangga yang lainnya untuk memakai jasa dukun bayi karena rasa percayanya tersebut pada dukun bayi yang sudah lama dikenalnya sebagi tetangga.

                Pentingnya tenaga medis dan penyuluh kesehatan dalam hal ini membawa pengaruh yang besar bagi warga Grujugan. Mereka memiliki influence, power, force dan authority dalam mengubah pola pikir masyarakat yang menjadikan masyarakat percaya dan melaksanakan apa yang diharapkan oleh tenaga medis pada mereka akan kesehatan. Keyakinan dan kepercayaan masayarakat karena faktor-faktor yang melekat pada tenaga medis dan penyuluh tersebut membuat stratifikasi medis antara tenaga medis (dokter, bidan), dinas kesehatan (penyuluh) dan masyarakat. Sehingga ketergantungan mereka akan rezim ini sangat besar. Seperti dalam hasil wawancara diatas, Ibu. Ambar responden kedua kami amat ketakutan dan khawatir apabila penanganan persalinan tidak dilakukan oleh orang yang profesional. Walaupun tidak secara langsung di lontarkan saran untuk USG oleh bidan tersebut namun karena begitu khawatir dengan keadaan bayinya, beliau rela USG dengan kocek sendiri dan biaya yang mahal ke dokter akibat pernyataan seorang bidan puskesmas yang memeriksa kandungannya dengan menyatakan bahwa bayi yang nanti lahir akan memiliki badan yang kecil. Setelah di USG ternyata dokter yang memeriksa mengatakan tidak ada masalah dengan bayi, dan bayi akan lahir sehat dan normal. Yang menjadi masalah adalah apabila stratifikasi dalam bidang kesehatan antara dokter/bidan dengan pasien ini, ketidak tahuan pasien akan menjadikan salah satu potensi pemerasan. Freidson mengatakan bahwa posisi khusus dokter akan terancam bila tindakan dan keputusannya harus jelas dan dibenarkan oleh pasien[5]. Desakan untuk mempercayai merupakan cara agar pasien pasrah saja pada dokter, ini memungkinkan dokter mempertahankan bahwa merekalah yang berwenang dalam pengetahuan tersebut. Kemampuan dokter dalam mengotrol dan memanipulasi inilah yang bertentangan dengan hubungan antara dokter/bidan dan pasien.

 

Refferensi :

Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan : Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah             Mada University Press

Lubis, Firman. 1982. Masalah Kependudukan dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Bagian Ilmu    Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran UI

http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf. Mahasiswa Jurusan Sosiologi, FISIP, UNS Angkatan 2007. Sosiologi Kesehatan. Hal.16. Diunduh pada 5 April 2012 pukul 20.37 WIB

 

DAFTAR GAMBAR

 

 

 

Beberapa gambar dari atas ke bawah menunjukan bagaimana keasrian desa yang jauh dari hiruk pikuk kota Bantul. Tiba di Padukuhan Grujugan RT 1 tepat di Posyandu “Sekar”. Terlihat dalam gambar salah satu responden yang ditemui sedang menggendong anak bayinya di depan rumah bernama Ibu Ambar dan bayinya yang berumur 5 bulan bernama Ganis, dilanjutkan kemudian  kami menemui Ibu. Dullahhadi dengan bantuan responden sebelumnya untuk mencari kriteria responden yang diinginkan. Tiba pada responden ketiga dan keempat, secara santai melakukan wawancara dengan Pak Dukuh dan Ibu. Dulahhadi yang saat itu tengah berada di depan rumahnya masing-masing.

 

 


[2] Firman Lubis. Masalah Kependudukan dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. 1982. Hal. 98

[3] http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf. Mahasiswa Jurusan Sosiologi,

FISIP, UNS Angkatan 2007. Sosiologi Kesehatan. Hal.16. Diunduh pada 5 April 2012 pukul 20.37 WIB

[4] Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan : Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta. 1997

[5] http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/sosiologi-kesehatan1.pdf. Mahasiswa Jurusan Sosiologi,

FISIP, UNS Angkatan 2007. Sosiologi Kesehatan. Hal.2. Diunduh pada 5 April 2012 pukul 20.37 WIB

perubahan sosial

PENDAHULUAN

Ketika mendengar kata globalisasi, pasti kita akan mengarah pada modernisasi. Globalisasi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat khususnya di bidang sistem informasi. Informasi di sebarkan melalui media-media cetak dan elektronik dengan seperangkat kecanggihan dan kemudahan yang diberikan untuk selalu mendapatkan informasi dan lancarnya arus komunikasi seperti televisi, radio, faksimili, telepon, handphone, internet dan penemuan world wide web. Tak ayal komunikasi dapat dilakukan hingga lintas negara dengan begitu cepat dan tanpa batas.

Globalisasi adalah eranya media dimana keadaan dunia seketika dapat mempersingkat waktu dan memperpendek jarak antar wilayah sehingga kita semua merasa dekat. Masyarakat juga semakin modern dan berkembang pesat dari segi pengetahuannya, karena makin banyak masyarakat akan memperoleh informasi secara cepat di seluruh belahan dunia Terlebih lagi adanya arus informasi dan komunikasi yang online setiap saat nyatanya dapat di jangkau dengan biaya relative murah.

Tapi agaknya modernisasi belum sepenuhnya masuk ke seluruh lapisan masyarakat dengan sempurna. Hal ini dikarenakan masih kuatnya budaya dan adat istiadat setempat yang belum bisa menerima hal-hal baru dan berbeda dari kebudayaan mereka. Contohnya adalah perbedaan antara desa dan kota. Desa identik dengan kuatnya rasa solidaritas masyarakat dan jauh dari hingar bingar peralatan modern dan hasi-hasil teknologi, sedangkan kota dengan arus transportasi yang sangat lancar memungkinkan telekomunikasi, informasi dan teknologi berkembang melalui media-media baik cetak maupun elektronik. Menurut Smelser, modernisasi identik dengan pembangunan ekonomi yang menyangkut empat proses, salah satunya adalah bidang teknologi yaitu merubah teknologi sederhana dan tradisional dengan menggunakan pengetahuan ilmiah (Soelaiman,1998:155). Ini berlaku pula dalam dunia kesehatan dan kedokteran atau medis.

Globalisasi ikut mendorong terjadinya perubahan sosial budaya pada masyarakat. Menurut Ogburn, agensia dari perubahan sosial itu sendiri terdiri dari empat hal yakni penemuan, penumpukan budaya, penyebarannya dan penyesuaian manusia (Daldjoeni,1979:5)

Masyarakat desa mungkin belum banyak mengenal dunia penyakit dan cara penyembuhan menggunakan teknologi canggih karena memang mereka belum tersentuh oleh modernisasi. Pengetahuan akan penyakit dan bagaimana mengobati belum mereka dapatkan, sehingga cara tradisional dan turun temurun lah yang mereka tempuh. Seperti halnya bagaimana cara persalinan yang baik. Cara persalinannya pun masih menggunakan jasa dukun bayi dengan peralatan seadanya yang dipercaya dan belum tentu higienis. Angka kematian bayi pada tahun 1961-1971 adalah 137 per 1000 kelahiran hidup (Tjiong,1991:120). Ini merupakan jumlah yang cukup besar yang kemudian menurun akibat adanya perbaikan kebijakan yang dijalankan untuk mengurangi angka tersebut.

Pada tahun 70-an akibat pendekatan modernisasi untuk pembangunan desa dibidang struktur sosial politik juga kesehatan, kebijaksanaan dari pusat lebih mudah tersalurkan (Soelaiman,1998:155). Sekarang ini malahan telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan baik dalam hal pemberdayaan masyarakat, desentralisasi, upaya kesehatan, maupun lingkungan strategis kesehatan, termasuk pengaruh globalisasi. Berbagai kebijakan penting yang perlu menjadi acuan antara lain Pengembangan Desa Siaga, Obat Murah, Apotek Rakyat, Jamkesmas, Poskestren, Mushalla Sehat, dan P4K. Perubahan iklim dan upaya percepatan pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) sangat berpengaruh pada bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan[1].

Adanya pendekatan modernisasi oleh pemerintah seperti ini telah ikut merubah pola pikir dan perilaku masyarakat yang lebih rasional akan kesehatan dan penyakit. selain itu tumbuh pesatnya lembaga-lembaga kesehatan desa yakni posyandu dan puskesmas sebagai penyalur informasi akan kesehatan yang berada setiap desa dan kecamatan. Melalui posyandu dan puskesmas sebagai media dan tenaga kesehatan baik itu bidan, nutritor maupun dokter sebagai agen yang kini kian banyak jumlahnya akibat kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi kehidupan manusia diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik untuk mengurangi dampak kematian akibat kekurangmengertian masyarakat terhadap penyakit terutama kesehatan ibu dan anak selama proses persalinan.

Paper kali ini penulis akan membahas kasus mengenai bagaimana peralihan kepercayaan cara persalinan dari tradisional menggunakan jasa dukun bayi yang dilakukan di rumah dengan peralatan sederhana ke cara persalinan modern menggunakan jasa bidan atau dokter menggunakan peralatan modern dan saat ini tengah banyak dilakukan di ruang operasi. Selain itu dalam paper ini juga akan dijelaskan mengenai bagaimana pola pikir masyarakat desa berubah melalui agen-agen pemerintah yang disebarkan guna melaksanakan program pemerintah mengenai kesadaran masyarakat akan kesehatan yang akan mengurangi angka kematian ibu dan bayi dan keberfungsian posyandu yang telah lama berdiri sejak inpres presiden tahun 80-an dan dengan tumbuh subur di tahun 90-an. Desa yang di pilih adalah RT. 01, Desa Tegaldowo Padukuhan Grujugan, Bantul Yogyakarta. Desa tersebut terletak di pinggir bukit Selarong yang cukup jauh dari kota Bantul.

PEMBAHASAN

Studi Kasus

Observasi sederhana saya lakukan khususnya berada di wilayah Padukuhan Grujugan yang terdiri dari 5 RT untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di wilayah tersebut semenjak kedatangan agen kesehatan untuk memberikan informasi, pengetahuan dan menyebarkan pengaruh kepada masyarakat akan bahayanya penggunaan jasa dukun bayi tanpa di dampingi tenaga medis. Wilayah yang di observasi saya khususkan di RT 01.

Pada tahun 1997 Padukuhan Grujugan sempat menjadi juara ke 2 TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Puskesmas terdekat dari padukuhan Grujugan adalah Puskesmas di Desa Nggeblak yang letaknya di sebelah Padukuhan Grujugan.

Dukun bayi adalah seseorang dengan kemampuan, keahlian baik turun temurun maupun tidak, dapat membantu jalannya proses persalinan, yang kemudian memakai remuan herbal sebagai obat penyembuhan persalinan ataupun jampe-jampe.

Hasil yang didapatkan dengan mewawancarai empat responden yang berbeda generasi, mereka mengemukakan persepsinya yang berbeda-beda akan penggunaan jasa dukun bayi. Responden dengan usia diatas 70 tahun yang memang melaksanakan proses persalinan di era 50-60an lebih memilih menggunakan dukun bayi karena harga yang murah dan belum adanya tenaga medis saat itu. Sedangkan kelompok Usia 50 tahun yang melahirkan anaknya di era 90-an dengan mulai banyaknya tenaga medis, masih bisa meyakini kemampuan dukun bayi karena walaupun telah banyak bermunculan tenaga medis namun senyatanya masih susah untuk ditemui dan jaraknya jauh dari desa setempat, prosesnya pun juga lebih mudah melalui dukun bayi. Era ini sudah sedikit mengalami transisi, sedangkan bagi kelompok Usia 30 tahun sama sekali tidak meyakini kemampuan dukun bayi dan lebih memilih bidan atau dokter karena adanya jaminan keselamatan dimana mereka telah banyak mengetahui dampak buruk jika melakukan persalinan tidak melalui orang-orang yang profesional dan selain itu mereka sekarang nyatanya telah memiliki Jampersal yang sayang jika tidak digunakan karena gratis.

Posyandu didirikan di desa mereka sejak tahun 80-an dimana ini merupakan kebijakan pemerintah melalui inpres dalam rangka memberikan pendekatan kesehatan dan pengetahuan akan cara hidup sehat, selain itu pembentukan posyandu ini dalam rangka mengurangi dampak kematian dari ibu dan anak yang masih menggunakan persalinan dengan jasa dukun bayi yang menggunakan peralatan seadanya. Tenaga-tenaga kesehatan yang masuk ke desa mereka menyebarkan informasi mengenai bagaimana cara hidup sehat dan bagaimana dampak dari peralatan sederhana yang masuk ke tubuh mereka. Lambat laun mereka mengerti dan memahami dampak tersebut yang menurut mereka ini perlu diikuti karena memang peralatan sederhanan akan membahayakan tubuh mereka. Terlebih bagi kaum perempuan yang akan melakukan persalinan. Mereka sudah mulai merasa takut untuk melakukan persalinan menggunakan jasa dukun bayi, sehingga para dukun bayi yang ada sekarang lebih pada tugas untuk melakukan pijat bayi dan sudah mulai menyusut prakteknya karena memang masyarakat di desa tersebut sudah tidak lagi memakai jasa dukun bayi, sehingga dukun bayi yang akan melakukan praktek wajib di dampingi oleh tenaga kesehatan lain seperti bidan atau dokter dan harus mengantongi surat ijin praktek dari dinas kesehatan setempat.

Era tahun 1998, 2000-an adalah eranya teknologi informasi bagi desa tersebut dimana setiap keluarga telah memiliki media informasi sendiri-sendiri selain informasi dari tenaga kesehatan, yakni televisi dan radio. Televisi dan radio adalah media dimana warga dapat memperoleh informasi mengenai kesehatan, penyakit dan dampaknya terlebih lagi untuk kasus persalinan ibu.

Dengan berbekal informasi dan pengetahuan baik dari tenaga medis dan media, sekarang mereka lebih percaya pada tenaga medis karena mereka dianggap lebih paham akan pengobatan dan memiliki peralatan canggih yang akan menyembuhkan penyakit mereka. Sehingga tidak ada lagi kepercayaan turun temurun dari “sesepuh” kepada mereka yang masih muda tapi yang dianggap sebagai “sesepuh” oleh mereka saat ini adalah para tenaga medis yang memiliki otoritas untuk memberikan klaim sakit dan cara penyembuhannya, karena pengalaman dan pengetahuan.

ANALISIS

Fenomena ini menyiratkan bahwa perkembangan masyarakat menuju kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi, ikut mengubah pula pola pikir masyarakat menjadi lebih rasional. Ini ditandai dengan berubahnya pola pikir masyarakat yang melahirkan era 60-an dengan 90-an bahkan era saat ini yakni mengenai kesehatan dan keselamatan persalinan.

Menilik tiga tahap perkembangan peradaban manusia menurut August Comte yang menurut penulis cocok untuk dilekatkan pada masyarakat Grujugan bahwa masyarakat yang melakukan persalinan di era 60-an dapat dimasukan dalam kategori teologis. Masyarakat lebih mempercayai dukun beranak (magis) karena keahlian spiritual yang dapat melaksanakan proses persalinan dengan menggunakan cara tradisional yang berpengaruh, dan hidup ataupun mati dipasrahkan oleh Tuhan. Selanjutnya adalah masyarakat pada tahap metafisik yang digambarkan masyarakat yang melakukan persalinan di era 90-an, tahap transisi masyarakat yang mulai modern dan percaya bahwa kesembuhan akan tercapai dengan pengetahuan akan kesehatan, walaupun sebenarnya memakai jasa dukun juga tidak masalah karena keterbatasan tenaga medis saat itu. Masuknya inpres pada masa ini, banyak puskesmas dan bertambahnya tenaga medis yang masuk ke desa, dimana keberadaannya memberikan penyuluhan yang memiliki kekuatan pengaruh, karena tenaga medis memiliki alat canggih yang dapat membuat masyarakat percaya akan kesembuhan dari mereka yang berpendidikan. Era positivis berada pada masyarakat yang melakukan persalinan di era 2000an, dimana pengetahuan akan kesehatan semakin berkembang dengan banyaknya penyakit dan kesadaran masyarakan untuk sehat. Masyarakat sudah mulai berpikir maju dan lebih rasional dengan gejala yang terjadi. Adanya kelahiran bayi tidak normal dan berbagai gejala penyakit tidak lagi diyakini sebagai kutukan yang diperoleh baik dari turun temurun maupun efek lingkungan dimana ia tinggal, tapi memang terdapat pola perilaku yang salah dan kebiasaan yang kurang terarah terlebih lagi proses persalinan yang buruk dengan peralatan sederhana, kurang higienis dan caranya yang “asal jadi”.

Pemerintah yang dulu kurang begitu memperhatikan mengenai kesehatan Ibu dan Anak, akhirnya tersadarkan melalui globalisasi yang berkembang dengan masuknya berbagai informasi baik lokal maupun internasional akan tingginya kematian Ibu dan anak saat persalinan dan penurunan kualitas kesehatan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus meningkat pesat di barat dengan penemuan berbagai teknologi di bidang kesehatan juga penemuan-penemuan lainnya dan menyebar begitu cepat melalui globalisasi ke negara-negara lain, yang mempengaruhi juga pola pikir masyarakat khususnya pemerintah untuk segera menyebarkan dan mengambil kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan akan bahaya tersebut. Hingga kemudian mendirikan posyandu di setiap desa yang dikelola oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri dengan pola pengkaderan guna penyebaran hidup sehat melalui agen-agen yang mulai banyak jumlahnya yakni tenaga-tenaga kesehatan atau tenaga medis yang disebarkan ke desa-desa guna memberikan pengaruh pada pola perilaku dan cara berfikir rasional terhadap penyakit dan pengobatannya.

Selain itu menurut teori aksi Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Masyarakat dulu, lebih memilih dukun beranak karena pertama memang belum banyak bahkan belum ada bidan atau dokter, akses menuju tenaga medis tidaklah semudah sekarang, kedua adalah dari segi kenyamanan, dan ekonomi masih menjadi prioritas. Masyarakat juga mempersepsikan bahwa memakai dukun akan baik-baik saja karena telah banyak pengalaman dan pemahaman tentang apa yang pernah dialami masyarakat yang pernah menggunakan jasa dukun bayi sebelumnya bahwa memang tidak ada masalah (ini yang terlihat). Sedangkan masyarakat sekarang, sekitarnya sudah banyak tenaga medis modern ditambah Jamkesmas serta pengetahuan mengenai banyaknya kematian ibu dan anak saat persalinan akibat proses persalinan yang “asal jadi” ataupun akibat kegiatan modernisasi yang membuat masyarakat lebih berpikir ulang senyatanya memakai tindakan medis lebih baik. Akses yang lebih baik daripada dahulu telah membuat mereka lebih dapat menjangkau pelayanan medis modern dengan banyaknya praktek dokter, bidan dan keberadaan puskesmas ditiap kecamatan.

Usaha kesehatan masyarakat penting untuk membangun suatu masyarakat. Bahwa usaha-usaha kesehatan masyarakat telah meningkatkan jumlah dan kwalitas dari tenaga-tenaga produktif. Juga suatu usaha kesehatan masyarakat yang berhasil cenderung untuk merubah pandangan umum hidup dari suatu masyarakat kearah yang lebih baik yaitu kesadaran bahwa perubahan adalah dimungkinkan, sehingga dapat mendorong mereka berfikir lebih inovatif (Lubis, 1982:98)

KESIMPULAN

Pentingnya tenaga medis dan penyuluh kesehatan dalam hal ini membawa pengaruh yang besar bagi warga Grujugan. Mereka memiliki influence, power, force dan authority dalam mengubah pola pikir masyarakat yang menjadikan masyarakat percaya dan melaksanakan apa yang diharapkan oleh tenaga medis pada mereka akan kesehatan. Hasilnya masyarakat berangsur-angsur berubah dari yang awalnya percaya mitos dan turun temurun, sekarang lebih rasional, dan bukti lain yakni kesungguhan pengelolaan posyandu yang intens dilaksanakan serta sadar kesehatan ditandai dengan diperolehnya penghargaan sebagai juara kedua dalam ajang tanaman obat keluarga.

Masyarakat Grujugan telah mengalami suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari segi pola pikir dan perilaku akibat masuknya informasi dan mengalami kontak dengan agen-agen pemerintah yang mana perubahan tersebut tidak terjadi secara cepat namun berangsur-angsur yang dimulai dari perkenalan, pemberian pengaruh hingga penerimaan pola-pola kehidupan baru dengan terbentuknya posyandu dan kaderisasi. Perubahan yang terjadi merupakan jenis perubahan yang direncanakan dengan maksud untuk mendapatkan suatu kemajuan di bidang pengetahuan pola perilaku pentingnya kesehatan khususnya penggunaan peralatan dan pengetahuan medis dalam  proses persalinan ibu sehingga tidak menimbulkan bahaya infeksi ataupun pendarahan yang akan mengakibatkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA :

Usman, Sunyoto. 2004. Diantara harapan dan kenyataan. Esai-esai perubahan sosial. Kemiskinan dan kesehatan. Yogyakarta: CIRed

Soelaiman Munandar. 1998. Dinamika masyarakat transisi. Mencari alternatif teori sosiologi dan arah perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tjiong, Roy. 1991. Problem etis upaya kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Daldjoeni. 1979. Perubahan sosial dan tanggapan manusia. Bandung: Percetakan Offset Alumni

Lubis, Firman. 1982. Masalah kependudukan dan kesehatan masyarakat. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI

 

http://www.kbr68h.com/perbincangan/klinik/21375-perang-melawan-kematian-ibu-dan-anak- diunduh pada 21 April 2012 pukul 20.37 WIB

http://dinkesbanggai.wordpress.com/2009/04/23/tinjauan-yuridis-penyelenggaraan-jamkesmas-2008/ diunduh pada 21 April 2012 pukul 20.53 WIB

STRATEGI JEJARING MASYARAKAT LOKAL DALAM MENGELOLA ASET BUDAYA DAN POTENSI PARIWISATA DI PRAWIROTAMAN RW 07 YOGYAKARTA

STRATEGI JEJARING MASYARAKAT LOKAL DALAM MENGELOLA ASET BUDAYA DAN POTENSI PARIWISATA DI PRAWIROTAMAN RW 07 YOGYAKARTA

Tugas Presentasi Mata Kuliah Masyarakat Jejaring

Tema 4 : Pengembangan Potensi Lokal Berbasis Industri (ex: Pariwisata)

Tanggal Presentasi : Rabu, 16 Mei 2012

Dosen : Derajad SW. S. Sos., M.Si / Desintha Dwi Asriani, S. Sos., MA

Disusun oleh :

Kelompok 4


Alfan Suhandi                         (09/282199/SP/23399)

Dessy Arinda                           (09/282679/SP/23541)

Devri Brisandi Suwardi                        (09/283032/SP/23652)

Fransiska Rina Maya Sinta       (09/282902/SP/23607)

Fx. Aditya Rinaldhi                 (09/283012/SP/23643)

Hartanto Rosojati                     (09/282185/SP/23396)

Irene Intan Kusumastuti                       (09/282268/SP/23415)

Niza Nur Rahmanti                  (09/288975/SP/23811)

Nurmalita Sari                          (09/288783/SP/23775)

Rian Arfiansyah Soebagja       (09/282011/SP/23369)

Rusmayanti                              (09/288768/SP/23772)

Sari Rahmawati                                    (09/288703/SP/23756)

Suci Wulandari                                    (09/280084/SP/23155)

Vicky Dian Pratamasari                       (09/280548/SP/23214)

Yanuar Tri Aji Baskara                        (09/286454/SP/23724)

Yudrani Chatrin S                    (09/282718/SP/23553)

Yusrin Nur Fitriyani                 (09/282203/SP/23401)

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

PENDAHULUAN

Perkembangan menuju kesejahteraan suatu daerah tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat lokal yang menjadi tujuan pembangunan oleh pemerintah. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pun beraneka ragam cara, salah satunya adalah dengan daya tarik yang dimiliki sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki, baik itu karena latar belakang historis seperti adanya warisan seni dan budaya yang menjadikan daya tarik pariwisata ataupun juga kekayaan alam maupun aspek geografis seperti kekayaan alam pantai, goa dan sebagainya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa ada faktor lain yakni pembangunan modal sosial yang kuat dari masyarakat untuk memulai dari dasar perkembangan daerahnya sebagai lokasi yang memiliki daya tarik yang bersumber dari ide masyarakat lokal sendiri, seperti contohnya mengkaryakan masyarakat untuk memiliki ketrampilan membatik, sehingga nantinya daerah mereka bisa terangkat menjadi sentra industri batik yang dapat menjadi daya tarik wisata khususnya Yogyakarta sehingga dapat memberikan akses untuk meraih kesejahteraan.

Kita ketahui bersama bahwa Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki keindahan alam dan kaya akan warisan kebudayaan. Hal ini menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan wisata tidak hanya bagi masyarakat Indonesia sendiri tetapi juga para turis-turis dari mancanegara. Faktor sejarah dan peradaban yang panjang turut menjadikan kota ini memiliki nama dan dikenal bahkan oleh negara-negara asing sejak dulu.

Pengembangan pariwisata tersebut kemudian menjadi sangat gencar dilakukan saat pemerintah, swasta dan masyarakat bersinergi menjadi satu dalam mengelola potensi pariwisata yang ada. Pembangunan fisik kota terutama infrastrukur publik menjadi penting untuk menciptakan suasana kota pariwisata yang nyaman dan menyenangkan bagi para turis domestik maupun mancanegara. Tetapi hal tersebut diatas tidak akan mencapai hasil yang maksimal jika tidak ada dukungan kuat dari masyarakat dan penduduk lokal daerah setempat. Kearifan lokal yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan industri pariwisata tersebut menjadikan Yogyakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Potensi lokal seperti batik, arsitektur bangunan Jawa yang khas, keramah-tamahan masyarakat setempat, juga warisan historical yang kuat menjadikannya tetap menjadi tujuan wisata sampai sekarang. Sehingga tidak heran jika saat ini kita berjalan-jalan di area pariwisata Yogyakarta, banyak orang-orang berkebangsaan asing hilir mudik. Fasilitas seperti penginapan, café, money changer, restoran, artshop, butik dan informasi turis berjejer rapi sepanjang jalan.

Dari gambaran singkat diatas kita dapat melihat bagaimana suatu daerah dapat berkembang menjadi pertumbuhan industri pariwisata yang tergolong pesat. Tetapi fenomena ini tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa ada peristiwa sebagai pemantik dan upaya untuk melanggengkan daerah tersebut.

Dalam makalah ini, sesuai tema yang didapat yakni “Pengembangan Potensi Lokal Berbasis Industri misalnya pariwisata”, kami akan mencoba mengangkat suatu kampung di wilayah Yogyakarta yakni Kampung Prawirotaman RW 7 yang dikenal sebagai kampung “Internasional” atau kampung “Bule”, yang dipilih karena dapat mewakili tempat tujuan wisata yang lahir dari potensi lokal, dan memiliki aspek historis dan geografis sebagai pendukungnya. Selain hal diatas, kami tertarik untuk melihat masyarakatnya yang sedang mencoba merangkak naik dan mengeksplorasi diri untuk membuat kampungnya sebagai daerah tujuan peristirahatan dan pariwisata dengan kelengkapan yang diberikan seperti perhotelan, resort, homestay, cafe bergaya hibrid, money changer, information tourist center, butik batik, seni dan kerajinan lokal sebagai basis industri. Semua ini tentu tidak dapat di jalankan tanpa adanya kerjasama antara seluruh elemen masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Kerjasama inilah yang membentuk sebuah jejaring sosial antara warga lokal, stakeholder, dukungan pemerintah serta agen lainnya seperti tukang becak, sopir taksi dan travel agent yang memiliki tugas masing-masing untuk ikut serta membangun dan mempromosikan baik melalui media cetak dan elektronik bahkan media yang masih tradisional pun seperti mulut ke mulut sebagai modal dan kemampuan individu sendiri, yang menjadi dasar modal sosial untuk membangun tujuan yang diinginkan bersama.

RUMUSAN MASALAH

Bagaimana strategi jejaring masyarakat lokal dalam mengelola aset budaya dan potensi pariwisata yang kemudian menjadi basis modal sosial di Kampung Prawirotaman RW 07 Yogyakarta?

PEMBAHASAN

Sejarah kampung Prawirotaman

Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata, baik wisatawan domestik maupun juga wisatawan asing. Jika melihat potensi-potensi yang dimiliki kota Yogyakarta, memanglah pantas jikalau Yogyakarta disebut sebagai salah satu kota tujuan wisata. Salah satu tempat yang ada di Yogyakarta yang menjadi incaran para wisatawan-wisatawan tersebut yaitu Prawirotaman. Prawirotaman ini letaknya hanyalah sekitar 5 km dari kota Jogja, yaitu berada di Jogja bagian selatan, tepatnya di selatan Pojok Beteng Wetan yang bersisihan dengan jalan Parangtritis. Prawirotaman ini sendiri memiliki 3 RW yaitu adalah RW 7, RW 8, dan RW 9. Masyarakat menyebut ketiga RW ini dengan sebutan Prawirotaman I, Prawirotaman II, dan Prawirotaman III. Prawirotaman I berada diarah paling utara, kemudian disusul Prawirotaman II, dan kemudian Prawirotaman III. Kampung-kampung tersebut hanyalah dipisahkan oleh jalan kampung yang tidak terlalu lebar.

Jika menilik lebih jauh lagi berkaitan dengan historicalnya, Prawirotaman merupakan daerah yang tidak asing bagi orang dari kebangsaan asing. Cerita yang berkembang menceritakan bahwa di kampung inilah menjadi markas Prajurit Hantu Maut (lascar jaman perjuangan kemerdekaan Indonesia). Selain Pasukan Hantu Maut, lascar prajurit yang pernah bermarkas di kawasan ini adalah Prajurit Prawirotomo. Dengan demikian warga sekitar meyakini bahwa kampung yang sekarang mereka tempati ini memiliki sejarah perjalanan yang panjang, dan bukan daerah yang diciptakan khusus sebagai tempat pariwisata, tetapi daerah tersebut telah dikenal sejak dahulu oleh para turis. Hal ini dipertegas pula oleh salah satu informan kami yaitu Bapak Agus (32 tahun) :

“kalau disini udah dari dulu habis masa perang, disini dibuat untuk peristirahatan seperti turis-turis (orang asing) gitu. Jadi daerah sini udah terkenal sejak dulu.”

Namun diantara ketiga kampung tersebut, Prawirotaman I lah yang paling terkenal dan juga paling banyak dikunjungi oleh para wisatawan-wisatawan. Pada awalnya kampung ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan-wisatawan juga karena sekitar tahun 1960-an, di kampung inilah terdapat pusat industri batik cap. Banyak sekali warga di Prawirotaman memanfaatkan potensi untuk memproduksi batik cap ini. Namun eksistensi para produsen batik cap ini pada tahun 1980-an menjadi terhenti. Seiring dengan meredupnya industri batik cap tersebut, digantikan oleh adanya kemunculan-kemunculan penginapan-penginapan dan cafe-cafe. Pembangunan tempat-tempat penginapan dan cafe-cafe ini diawali dengan salah seorang pengusaha batik cap yang menutup toko batiknya, dan ia kemudian melanjutkan usahanya dengan mendirikan sebuah penginapan. Toko batik yang pertama kali berubah menjadi tempat penginapan ini adalah penginapan Putra Jaya. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan kami yang sebelumnya yaitu Bapak Agus (32 tahun) :

“Dulu yang terkenal usaha batik, terus sekitar tahun 90an beralih ke penginapan, contohnya batik Putra Jaya. Tapi nama penginapannya tetap pakai nama batik.”

Ketika mengubah usahanya tersebut, yaitu dari toko batik menjadi penginapan, ternyata antusias dari wisatawan-wisatawan  untuk mengunjungi kampung ini justru besar. Hal ini memotivasi para pengusaha atau produsen batik cap ini menutup usahanya, dan menggantikannya dengan usaha membuka penginapan-penginapan baru. Hal ini membawa dampak yaitu sangat merosotnya produsen batik cap di kampung tersebut.

Memasuki kampung Prawirotaman ini seolah-olah kita berada di sebuah kampung yang bercorak kota. Karena di dalam kampung ini, setiap pinggir jalan tidak pernah sepi dari lalu lalang para wisatawan-wisatawan domestik dan juga internasional. Bangunan-bangunan hotel yang berdiri megah baik yang bercorak Jawa hingga bercorak modern juga tidak pernah sepi dari para tamu. Tidak hanya penginapan-penginapan saja yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan, namun cafe-cafe, artshop, money changer, restoran, butik-butik bergaya Jogya, dan juga pusat informasi turis juga banyak menjadi incaran para wisatawan-wisatawan. Semakin ramainya kampung ini oleh wisatawan-wisatawan, hingga kampung ini disebut sebagai kampung Internasional atau beberapa masyakat sekitar menyebutnya dengan nama kampung Bule. Nama kampung ini muncul bukan dikarenakan oleh faktor kesengajaan, namun julukan kampung ini muncul karena proses yang alamiah atau pemberian nama tersebut wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke kampung itulah yang justru memberikan julukan kampung tersebut sebagai kampung Internasional.

Walaupun pembangunan tempat-tempat penginapan di Prawirotaman untuk saat ini telah banyak juga yang dikuasai justru bukan oleh masyarakat asli Prawirotaman, namun masyarakat Prawirotaman ini sendiri juga memanfaatkan potensi-potensi yang dapat mereka lakukan untuk dapat ambil bagian dalam eksistensi kampung Internasional tersebut, salah satunya yaitu dengan mendirikan kafe-kafe, restoran, butik-butik, dan yang lainnya. Pada awalnya memanglah potensi yang ada di kampung tersebut kurang disadari oleh warga setempat. Sehingga menurut salah satu informan kami yaitu Bapak Hasanto, yaitu seorang ketua RW Prawirotaman I, beliaulah yang  menggugah kesadaran atau membuka mata para warganya tentang peluang besar yang ada dihadapan mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

Kini ada beberapa peraturan yang telah disepakati oleh para pemilik usaha di wilayah tersebut dengan warga setempat. Para pemilik usaha diwajibkan memberi sumbangan apabila akan diadakan acara di kampung tersebut (acara umum, bukan pribadi), kemudian pihak manajemen hotel atau penginapan diharap menginfokan atau mempromosikan kepada pengunjung hotelnya akan acara tersebut. Lalu para pendiri usaha baru, wajib mengambil beberapa persen pegawainya dari warga setempat. Beberapa warga juga mengadakan kerjasama dengan hotel atau penginapan tertentu, jika kamar hotel atau penginapan penuh maka warga tersebut bersedia menyediakan kamar di rumahnya untuk menginap para wisatawan atau home stay.

            Hal yang menarik yang perlu menjadi sorotan pula disini yaitu terdapatnya modal sosial yang kuat akan masyarakat untuk tetap melanggengkan kampung mereka sebagai kampung internasional, salah satunya terdapat kerja sama dari masing-masing masyarakat setempat. Ikatan relasi tersebut terjalin antara pemilik penginapan, tukang becak, dan pedagang rokok asongan. Pedagang rokok asongan dan tukang becak disekitar Prawirotaman memberikan informasi penginapan bagi para turis baik domestik dan internasional. Sebagai imbalannya mereka memperoleh tips atau bayaran dari penginapan tersebut. Sementara itu  hubungan yang baik juga diciptakan antara pemilik penginapan dengan para turis. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pengunjung yang tetap berhubungan dengan pengola penginapan, walaupun mereka telah kembali kenegaranya masing-masing. Salah satu alasan munculnya relasi yang baik antara warga setempat dengan turis asing adalah karena kemampuan masyarakat dalam menggunakan bahasa Inggris.

Selain modal sosial, masyarakat juga memanfaatkan lahan yang mereka miliki untuk mendirikan berbagai penginapan dan cafe dari taraf nasional hingga internasional. Suasana yang dibangun juga menonjolkan kebudayaan lokal masyarakat, yang menjadikan nilai plus untuk menarik pengunjung. Perpaduan antara modal sosial dan ketersediaan sumber daya alam berupa lahan kemusian bersinergi untuk saling mendukung tujuan masyarakat dalam melanggengkan wilayah Prawirotaman sebagai kampung internasional.

Sebelum menjadi Kampung Internasional atau Kampung Bule, Kampung Prawirotaman dahulunya terkenal dengan banyaknya toko batik yang berada di sepanjang jalan Prawirotaman. Namun seiring berjalannya waktu, usaha batik-batik tersebut tidak terlalu menguntungkan dan justru lebih menguntungkan usaha penginapan atau perhotelan. Oleh sebab itu, saat ini di Kampung Prawirotaman banyak berdiri hotel dan segala sesuatu yang mendukung keberadaan wisatawan asing. Promosi hotel yang ada di Prawirotaman kepada para wisatawan sendiri dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui jaringan internet (seperti melalui blog, email, atau facebook), bekerjasama dengan travel agent, dll. Bahkan dengan adanya media internet tersebut, wisatawan dapat mereservasi/memesan kamar hotel melalui email. Lebih menariknya lagi, wisatwan asing yang telah kembali ke negaranya masih menjalin hubungan, misalnya dengan resepsionis hotel, melalui media facebook. Sehingga dengan adanya hubungan tersebut, akan memudahkan mereka apabila akan berlibur ke Jogja lagi.

Strategi Jejaring Sosial

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, terdapat relasi di antara aktor-aktor yang terlibat dalam mendorong industri pariwisata di Kampung Prawirotaman. Adanya kerja sama di antara pihak hotel, restoran dan cafe, travel agent, tukang becak, dan masyarakat lokal Prawirotaman semakin mendukung kegiatan pariwisata. Dari pihak hotel misalnya, mereka menyediakan penginapan bagi para wisatawan sehingga mereka mendapat tempat tinggal selama berada di Yogyakarta. Antara hotel satu dengan hotel yang lainnya menjalin kerja sama, misalnya ketika salah satu hotel tidak mampu menampung semua pengunjung, maka sebagian dari pengunjung tersebut akan dialihkan ke hotel yang lain sehingga semua pengunjung mendapatkan tempat menginap. Apabila hotel-hotel yang ada tetap belum mampu menampung seluruh wisatawan yang datang, terutama saat high season, maka rumah penduduk dijadikan sebagai penginapan. Kini dengan adanya hotel-hotel dan cafe yang kian ramai pengunjung, memacu warga RW 07 untuk mendirikan home stay dan resort. Meskipun lokasinya tidak di pinggir jalan atau agak masuk, hal ini cukup membuktikan bahwa terjadi persaingan sehat dan terbinanya kerjasama di antara mereka. Ini lah point penting yang dapat diambil dari masyarakat Prawirotaman, bahwa jaringan antarpelaku industri pariwisata menjadi bagian dari modal sosial, dimana kerjasama menjadi basisnya.

PRAWIROTAMAN

dulu

sekarang

perubahan

Turis

Becak, taksi

Hotel, penginapan

Money changer

Art shop, swalayan

Cafe, restoran

Masyarakat setempat

Travel agent

ekonomi

KERJASAMA

Hubungan kerjasama yang terjalin tidak hanya terlihat diantara hotel saja, tetapi juga antara hotel dengan travel agent. Pada umumnya wisatawan berlibur di Jogja sekitar 2 – 3 hari saja atau transit, kemudian melanjutkan perjalanan misalnya ke Bromo atau Bali. Saat mereka menanyakan akomodasi ke tempat tujuan selanjutnya, biasanya pihak hotel merekomendasikan travel agent di sekitar Prawirotaman. Bagitu pula sebaliknya. Travel agent akan membawa wisatawan untuk menginap di hotel sekitar Prawirotaman. Tidak jarang travel agent di Prawirotaman terhubung dengan travel agent di luar negeri, misalnya Agoda yang berpusat di Singapura. Sehingga wisatawan mancanegara dapat booking hotel melalui Agoda tersebut dan hotel di daerah Prawirotaman tinggal menyiapkan kamar saja.

Berbicara mengenai pariwisata, pastilah tidak terlepas dari aspek transportasi. Ternyata, becak dan taksi sangat berperan dalam mendorong industri pariwisata di Prawirotaman. Baik becak maupun taksi turut mempromosikan hotel, art shop, cafe, dll dan mengantarkan wisatawan ke tempat tersebut. Sebagai timbal baliknya, pihak hotel memberikan “tukon rokok” (upah) setiap tukang becak membawa pengunjung.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap para wisatawan asing khususnya, terdapat suatu daya tarik yang menyebabkan mereka tertarik untuk mengunjungi Yogyakarta. Selain dari segi budaya, ternyata keramahan masyarakat lokal membuat wisatawan asing merasa nyaman ketika berada di Yogyakarta. Seperti dituturkan oleh John dan Flower, wisatawan asal Argentina, bahwa yang mengesankan dari Indonesia, khususnya Yogyakarta adalah keramahtamahan masyarakatnya. Lain halnya dengan turis asal belanda, George, yang berpendapat bahwa lokasi Prawirotaman sangat strategis, dekat dengan banyak tempat wisata, dan harga hotel relatif murah. Hal inilah yang menjadi potensi sekaligus magnet bagi wisatwan untuk mengunjungi Prawirotaman. Potensi tersebut didukung pula dengan adanya fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan, misalnya money chager, travel agent, ATM, dan lain-lain. Di sisi lain, masyarakat RW 07 selalu terdorong untuk meningkatkan daya tarik pariwisata Prawirotaman melalui kegiatan tahunan misalnya acara Hari Kartini. Dalam menyukseskan acara tersebut, Ketua RW atau Bapak Edi sendiri turut berperan dan bekerja sama dengan hotel agar mempromosikan acara tersebut kepada pengunjung hotel. Upaya peningkatan daya tarik pariwisata yang mulai menunjukkan geliat sejak 2010 ini rupanya telah menujukkan hasil. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan warga Belgia yang menyumbang dana pembangunan gapura di Prawirotaman sebagai bukti ketertarikannya terhadap Prawirotaman.

Selain melakukan upaya-upaya penunjang industri pariwisata seperti dijelaskan di atas, para pemilik hotel juga membentuk sebuah perkumpulan dan mengadakan pertemuan sebulan sekali. Kegiatan perkumpulan tersebut berupa arisan dan para anggota dapat bertukar informasi. Adanya relasi yang sangat erat, kerjasama, dan kepercayaan di antara aktor-aktor tersebut pada akhirnya dapat mendukung terbentuknya modal sosial dalam masyarakat Prawirotaman. Sehingga, modal sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun Prawirotaman sebagai kawasan industri pariwisata yang lebih maju. Dan ketika industri pariwisata semakin meningkat, tentu akan disertai dengan peningkatan perekonomian di Kampung Prawirotaman khususnya, dan perekonomian daerah umumnya. Dengan kata lain, modal sosial masyarakat Prawirotaman menjadi perekat sosial dalam jaringan ekonomi.

 

ANALISIS DAN KESIMPULAN

Dari skema jaringan sosial yang tertera diatas, dapat dijelaskan bahwa yang menjadi tokoh kunci dan penggerak bagi warga RW 07 untuk melakukan sebuah perubahan kearah yang lebih baik dan menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat khususnya RW 07 dan Yogyakarta umumnya adalah ketua RW 07 sendiri yakni Bapak Haryanto. Melalui Bapak Edi yang ditunjuk sebagai duta pariwisata di kelurahan Brantakusuman oleh dinas pariwisata menjadikan Pak Edi dipercaya oleh warga  sekitar sebagai penghubung komunikasi antara dinas pariwisata, dengan warga sekitar dan asosiasi hotel-hotel besar yang ada di kawasan kampung Prawirotaman. Garis panah tebal menunjukan jalur hubungan pokok, sedangkan garis panah tipis menunjukan jalur hubungan yang bisa terjadi namun tidak terlalu intens. Sedangkan garis panah terputus-putus menunjukan hubungan promosi yang terjadi antara warga dan WNA namun jarang dilakukan karena terkendala communication skill. Pak Haryanto sebagai ketua RW 07 mempercayakan pada hotel-hotel untuk dapat mempromosikan potensi lokal seperti pertunjukan kebudayaan (pada Hari Kartini, 17 Agustus-an dsb) dan mempromosikan home stay milik warga yang murah meriah apabila kapasitas kamar hotel telah penuh terisi ataupun terdapat WNA yang sedang mencari kamar murah. Selain kepercayaan pada pemilik hotel untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan warga yang juga tinggal di kawasan perhotelan, Pak Haryanto juga menjalin kerjasama pada para tukang becak untuk dapat mempromosikan kamar murah milik warga, yang nantinya mereka juga akan mendapatkan imbalan jasa. Dengan harapan bahwa antar pemilik kepentingan dapat saling bahu-membahu dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Dari pembahasan diatas, sedikit banyak telah memberikan pengetahuan singkat mengenai bagaimana hubungan yang terjadi diantara aktor-aktor di kampung Prawirotaman khususnya RW 07 dalam mengembangkan kawasan pariwisata dan mengelola berbagai aset-aset lokal yang dimiliki untuk menunjang proses pengembangan kawasan Kampung Internasional di kawasan Jl. Prawirotaman. Relasi ini membentuk sebuah jaringan-jaringan yang tidak saja hanya menguntungkan aktor-aktor itu sendiri tapi juga membangun kerjasama dan memberikan timbal balik bagi komunitas dalam sebuah jaringan. Aktor-aktor yang masuk di dalamnya memberikan kemanfaatan bagi tumbuhnya jaringan yang lebih luas dan memupuk kepercayaan satu sama lain sebagai modal sosial.

Putnam (dalam Field, 2010: 49) mendefinisikan bahwa modal sosial merujuk pada bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jaringan sosial memiliki nilai dan kontak sosial yang bisa mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Hal inilah gambaran dari Kampung Prawirotaman yang juga dikenal dengan kampung “Bule” oleh warga sekitar dan kampung “Internasional” bagi khalayak luas, yang mana Bates (dalam Field, 2010:86) menyatakan bahwa jaringan dapat memberikan akses keuangan. Jaringan telah menyediakan akses bagi warga kampung Prawirotaman sendiri untuk menarik WNA dengan home stay-nya, warga dengan hotel-hotel dan cafe yang bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mempersiapkan dan mengambil SDM dari warga sekitar untuk diserap menjadi pegawainya serta tukang becak yang memanfaatkan jaringan untuk meningkatkan keuangan mereka dengan cara bekerjasama dengan berbagai pihak (pemilik home stay, hotel, cafe) untuk memberikan informasi serta mengantarkan para pengunjung menuju tempat-tempat yang telah disepakati sesuai kerjasama.

Jaringan inilah yang kemudian berbuah aset yang kemudian menjadi modal sosial yang menguntungkan selain modal budaya dan potensi wilayah yang ideal bagi terbentuknya kampung pariwisata. konsep Modal Sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus.

Modal ini adalah bentuk dari kumpulan kemampuan-kemampuan individu-individu yang ikut terus berpartisipasi pada jaringan yang mereka bentuk serta kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasama, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Modal sosial bersifat produktif yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya.

Beberapa unsur penting dalam modal sosial dalam skema di atas yakni adanya sebuah jaringan yang menjembatani individu memiliki akses eksternal dan memberi kemanfaatan bagi jaringan tersebut yakni informasi, kemudian adanya rasa saling percaya dan melindungi, timbal balik dalam arti selain individu dapat mengambil kemanfaatan dari sebuah jaringan tersebut, individu juga memberikan kontribusi bagi kelompoknya, adanya pro aktif dan partisipatif dari seluruh komponen kelompok, adanya nilai dan norma yang menjadi patokan individu dalam sebuah kelompok bertindak dan bertingkah laku demi mencapai tujuan bersama, perbedaan yang memberikan ragam ide dari masing-masing individu ke dalam kelompok serta rasa saling memiliki yang kemudian membuat satu sama lain saling membutuhkan  dan serasa tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dipercaya untuk mencapai suatu tujuan yakni dalam hal ini ekonomi. Unsur-unsur modal sosial yang dibangun warga Prawirotaman berupa yakni (1) partisipasi warga untuk mendukung industri pariwisata, misalnya saja kerja sama antara pihak hotel dan warga agar homestay dapat ikut dipromosikan oleh para wisatawan ketika daya tampung hotel tidak mencukupi. Kemudian kerjasama dalam bentuk ceremony atau pesta rakyat lainnya seperti Hari Kartini dan 17 Agustus) yang diselenggarakan warga yang menjadi daya tarik Prawirotaman untuk menyuguhkan para wisatawan tentang budaya Indonesia, khususnya Yogyakarta. (2) Sikap saling memperhatikan, memberi dan menerima dalam hal ini warga asli Prawirotaman terbuka terhadap industri pariwisata didaerahnya, terutama terhadap wisatawan domestik maupun manca negara. (3) Kepercayaan yang dibangun antara warga asli dengan pendatang yang mayoritas sebagai pelaku usaha (hotel,resort,restoran, dan café) misalnya saja dalam bentuk recruitment pegawai hotel. Kemudian kepercayaan para pelaku usaha ini dengan tukang becak. Tukang becak dinilai dapat dipercaya mendatangkan wisatawan untuk berkunjung di toko, café, restoran maupun beristirahat di penginapan miliknya. (4) Selain itu adanya nilai serta norma yang mendukung. Hal ini dapat dilihat dari aturan-aturan yang diwajibkan dan disepakati antara pihak warga dengan pengelola hotel maupun resto dan café-café disekitar Jalan Prawirotaman agar terciptanya hubungan yang serasi dan harmonis demi kemajuan industri pariwisata didaerah tersebut.

Selain perspektif mengenai jejaring sosial oleh Putnam dan Bates dalam menganalisis jaringan sosial dalam masyarakat dengan stakeholder di Kampung Internasional ini, kami juga menggunakan perspektif Manuel Castells  yang merujuk pada salah satu bukunya yang berjudul ‘Risk of the Network Society” yang menjelaskan bahwa masyarakat informasi menurut Castells dilihat sebagai perkembangan dari orang-orang yang menggunakan teknologi informasi, teknologi berkembang dalam konteks historis dan metode seperti pengenalan dan pemanfaatan teknologi dengan cara tertentu yang didefinisikan sebagai perkembangan era informasi. Ini akan kami gunakan untuk menganalisis bagaimana kemudian para stakeholder berusaha membangun image Kampung Prawirotaman sebagai kampungnya para bule untuk transit dan beristirahat ketika mengunjungi Yogyakarta melalui media informasi seperti web, facebook maupun media lainnya. Dimana hal ini turut membantu juga akses para warga untuk turut memperkenalkan home stay mereka dan potensi lokal yang mereka miliki kepada para wisatawan.

Penggunaan jaringan komputer sebagai komunikasi kelas menengah diasumsikan dengan banyaknya percepatan langkah terhadap perubahan ini, serta penggunaan teknologi ini diasumsikan telah digunakan oleh semua aspek masyarakat, baik untuk mengejar kegiatan kriminal, perluasan media populer atau kepentingan bisnis. sementara ini percepatan pembangunan tidak diragukan lagi sangat penting, Castells tidak membatasi dirinya untuk menentukan dampak dari perubahan ini hanya pada konglomerat industri dan sosial besar lainnya saja, Sebaliknya, Castells mengambil catatan dari teknologi dan ekonomi, dalam konteksnya terhadap perubahan dalam masyarakat.

Emanuel Castells. Castells mengatakan bahwa masyarakat informasi muncul karena adanya ketersediaan terhadap hal-hal baru (berita), teknologi informasi yang fleksibel, dan aspek historikal. Dalam thesis dasarnya “The Rise of Network Society”, yang dikemukakan oleh castells, ada beberapa pernyataan terkait dengan relasi dan jaringan, dan kita akan merujuk pada dua pernyataan Castells saja yakni Hubungan antara IT – Globalization – Pembangunan Sosial dan Dua kunci trends dalam era informasi : society dan network.

Dari penjelasan Emanuel Castells tersebut, maka relevansinya dengan pembahasan yang diangkat adalah :

–          Pada kampung internasional tersebut terdapat skema relasi diantara masyarakat atau para aktor yang berperan di kawasan kampung internasional Prawirotaman ini, yaitu pengelola hotel, turis, art shop/swalayan, café, penarik becak, dll.

–          Skema relasi ini kemudian menghasilkan kerjasama yang kemudian akan memberikan informasi baru yang dapat mengembangkan industri pariwisata di daerah ini. Dalam perjalanannya skema relasi tidak hanya bersifat bisnis tetapi juga relasi sosial diantara para aktor-aktor tersebut. Bisa dilihat dari adanya semacam arisan atau pembentukan asosiasi antar pemilik hotel dan warga yang diwakilkan oleh Pak Edi.

–          Teknologi informasi yang fleksibel memudahkan khususnya para stakeholders untuk mengirimkan informasi dan mendapatkan informasi yang diinginkan karena memang pada kenyataanya, warga belum menggunakan IT dalam mempromosikan homestay mereka, tapi bagaimana caranya mereka menjalin kerjasama dengan para pemilik hotel untuk ikut serta mempromosikan homestay mereka tanpa menjadi benalu. Ini dikarenakan geliat kerjasama dalam menggiatkan Kampung Internasional baru terlaksana dengan baik sekitar tahun 2010, ketika Kampung Prawirotaman mulai dilirik oleh wisatawan Belgia yang menyumbangkan dana mereka untuk ikut serta membangun Gapura Utama Jl. Prawirotaman agar terlihat indah, meriah dan lebih dikenal sebagai tempat hunian yang menyenangkan bagi para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Dalam mempromosikan kampung internasional Prawirotaman, para pengelola jasa wisata di wilayah ini menggunakan media jejaring sosial seperti facebook, email dan blog serta juga menjalin relasi dengan travel agent di luar negeri untuk mempromosikan kawasan prawirotaman ini kepada para wisatawan asing maupun domestik.

–          Selain aspek letak wilayah yang strategis karena dekat dengan banyak daerah tujuan wisata budaya, aspek historikal yang berkembang di daerah ini juga turut menunjang mengapa daerah ini kemudian bisa berkembang menjadi daerah tujuan destinasi para wisatawan. Daerah ini menurut salah satu informan sejak pasca perang kemerdekaan dahulu sudah menjadi daerah peristirahatan untuk orang-orang asing yang kemudian era pasca kemerdekaan terkenal dengan pusat batik karena banyaknya orang lokal yang bekerja sebagai pembatik di daerah tersebut.

Namun poin utama dan yang terpenting dari apa yang disampaikan oleh Emanuel Castells adalah tentang perkembangan masyarakatnya semenjak adanya perkembangan teknologi informasi, karena perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat turut mengembangkan aspek-aspek lainnya, terutama untuk kepentingan bisnis, khususnya industri pariwisata dan penginapan.

Selain itu garis besarnya dalam buku “The Rise of Network Society” karya Emanuel Castells dapat dimengerti bahwa kata “The Rise” yang artinya peningkatan menunjukkan indikasi terhadap suatu perubahan atau perkembangan dalam konteks masyarakat jejaring, dimana jaringan masyarakat tidak lagi sebatas jaringan lokal tetapi sudah ber-ekspansi menjadi jaringan global.

Kampung Internasional Prawirotaman ini hanyalah contoh kecil dari peningkatan terhadap masyarakat jejaring, masih banyak contoh-contoh yang relevan lainnya. Namun dimanapun areanya dan bagaimanapun konsepnya fokus utama yang harus diterapkan adalah persepsi sosiologis yang menjadikan masyarakat sebagai unsur utama, bagaimana kemudian masyarakat bisa menjadi agensi di dalam teknologi informasi, dampak apa yang dirasakan masyarakat dengan adanya peningkatan teknologi informasi. Semua hal itu bisa ter-cover dengan jelas apabila kita bisa mengurutkan skema antara masyarakat dan teknologi itu sendiri.

Seperti halnya dengan apa yang kelompok kami lakukan pada saat penelitian lapangan di kampung internasional prawirotaman ini, agar data yang didapat tidak menjadi bias maka kami membuat skema antara masyarakat dan teknologi sebagai bahan acuan kami saat turun di lapangan, dan hasilnya adalah, dengan adanya peningkatan teknologi informasi ini, secara tidak langsung membentuk relasi antara masyarakat, pelaku bisnis, dan para stakeholders, yang kemudian hal itu menjadi modal sosial kuat yang bisa menjadi modal kuat bagi kampung internasional ini untuk tetap eksis keberadaannya.

Kesimpulannya, strategi jejaring dengan menggunakan teknologi informasi ternyata ampuh dalam memperkuat identitas kampung prawirotaman sebagai kampung internasional. Sebagaimana yang telah disampaikan dimuka, teknologi informasi misalnya saja melalui alat komunikasi telepon genggam dan media jejaring sosial dinilai mampu memperkuat, memelihara, menjaga dan menyebarluaskan jaringan sebagai upaya dalam memperkuat identitas kampung Prawirotaman sebagai kampung Internasional. Namun, sebelum menyebarluasnya teknologi informasi sebagai media pendukung dan pendorong teraktualisasinya eksistensi kampung Prawirotaman sebagai kampung internasional, yang perlu dicatat dan ditekankan adalah hadirnya modal sosial yang terjalin di antara stakeholders terkait. hal ini ternyata telah melahirkan relasi sosial ekonomi yang mampu memperkuat identitas kampung Prawirotaman.

Tentu saja keadaan tersebut tidak serta merta dapat dilepaskan dari faktor indogen maupun eksogen yang ada, khususnya latar belakang historis yang ternyata memiliki peran penting dalam membentuk,  mendorong dan melahirkan kampung Prawirotaman sebagai kampung Internasional. Kampung tersebut menjelma sebagai kampung internasional dengan basis modal sosial yang kuat, serta mampu mensinergikan potensi lokal dengan kebutuhan pariwisata. Dengan demikian potensi ini ternyata telah mampu membangun peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang dapat berjalan secara simultan.

 

Daftar Pustaka

Alfitri.2011. Community Development; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana

TATA KELOLA CSR

MATA KULIAH TATA KELOLA CSR

Nama  : Nurmalita Sari

Dosen  : Hempri Suyatna

Tugas   : Membuat Tulisan mengenai salah satu tema mengenai CSR (Coorporate Social Responsibility) : Analisis atas implementasi salah satu program CSR yang dilakukan perusahaan.

CSR PT. SIDO MUNCUL

“Program Mudik Gratis Bersama Sido Muncul”

Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengunggah CSR (Coorporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh perusahaan jamu yang begitu kondang di mata masyarakat yakni PT. Sido Muncul. Perusahaan jamu Sido Muncul ini dapat dikatakan perusahaan jamu yang besar dari perusahaan jamu yang ada. Kita sering melihat iklan-iklan skala besar dan kecil yang disuguhkan baik melalui televisi, radio, maupun lewat baliho-baliho sebagai sponsor utamanya. Perusahaan ini cukup gencar dalam melakukan komunikasi eksternal dengan masyarakat melalui kegiatan terkenalnya saat musim lebaran tiba yakni acara mudik gratis bersama sido muncul. Sebuah kegiatan yang setiap tahun diselenggarakan oleh PT. Sido Muncul ini diberikan secara gratis kepada pedagang jamu se-jabodetabek sebagai wujud trimakasih pada pedagang jamu atas keikutsertaann memasarkan produk jamu ke khalayak luas dan ikut memakai produk dari Sido Muncul.

Kegiatan mudik gratis diselenggarakan oleh PT. Sido Muncul sejak tahun 1991, dimana dalam perjalanannya sempat tersendat dan akan dihentikan dikarenakan tidak adanya kenaikan tingkat pemasaran, dan hasil penjualan yang signifikan. Namun Setelah melalui berbagai tahap penelitian, perencanaan serta evaluasi kegiatan, pada akhirnya kegiatan mudik gratis ini batal untuk dihentikan, sebagai penggantinya, kegiatan mudik gratis ini dijadikan PT. Sido Muncul sebagai wujud kegiatan CSR dalam perusahaan tersebut. Mudik gratis yang dahulunya di dasari oleh pemahaman untuk sekedar kegiatan aktivitas sosial dan memperbaiki pemasaran semata, tapi sekarang kegiatan mudik gratis ini sudah menjadi kegiatan wajib dan sebagai wujud kesadaran akan tanggung jawab perusahaan terhadap penjual jamu yang telah ikut serta dalam membantu memasarkan produk ke masyarakat. Pemasaran produk jamu oleh pedagang jamu inilah yang dianggap perusahaan membuat PT. Sido Muncul terus mendapat tempat di hati masyarakat dan menjadi besar hingga sekarang. Dalam hal ini pedagang jamu telah dianggap menjadi mitra oleh perusahaan.

Mudik gratis yang diadakan PT. Sido Muncul dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, sehingga dengan adanya kegiatan ini ditambah pemasaran dan berita melalui televisi, semakin terkemukanya Sido Muncul, sehingga pasokan produk penjualan terus mengalami peningkatan. Atas dasar inilah, merasa perlunya PT. Sido Muncul memberikan timbal balik dan wujud trimakasih perusahaan terhadap para pedagang jamu, dimana mungkin mudik bagi mereka menjadi hal yang sulit diwujudkan karena mahalnya biaya mudik dan pelayanan mudik yang ada kurang baik.

Analisis Implementasi

Dari uraian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan PT. Sido Muncul diatas, dapat kita ketahui bahwa PT. Sido Muncul telah memiliki departemen khusus CSR, dimana mudik gratis yang dilakukan memang dimaknai sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para penjual jamu khususnya, yang secara tidak langsung turut membantu memasarkan produk melalui penjualan jamu keliling. Selain itu pada awalnya memang mudik gratis yang dilakukan atas dasar pemasaran, namun kenyataanya kurang berhasil karena anggapan bahwa aktivitas yang dilakukan hanya untuk meningkatkan omset penjualan dan pemasaran untuk mencari keuntungan semata. Dengan beralihnya mudik gratis kedalam kegiatan CSR, ini memberikan pencitraan baru bagi perusahaan bahwa kegiatan sebenarnya yang dilakukan bukanlah semata untuk pemasaran tapi memang didasarkan atas wujud tanggung jawab yang harus diberikan pada masyarakat akan keberadaan PT. Sido Muncul yang mungkin tidak akan dapat berkembang tanpa adanya dukungan dari masyarakat.

“Direktur Utama PT Sido Muncul, Irwan Hidayat mengatakan bahwa selain telah menjadi tradisi perusahaan dan bagian dari ucapan terima kasih kepada para penjual jamu, acara mudik gratis ini sebagai bentuk partisipasi untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan lebaran.”[1]

Dalam hal ini, perhatian terhadap perkembangan sosial perusahaan dengan masyarakat khususnya semakin penting. Timbulnya masalah-masalah sosial memiliki potensi terhentinya operasi dan tingginya biaya transaksi yang akan menjadi beban keuangan sekaligus reputasi dan citra buruk. Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet), dimana dalam pelaksanaannya Sido Muncul menggunakan air daur ulang untuk mengurangi pemborosan air tanah, serta menggunakan minyak nabati dalam operasional mesin-mesinnya dan kesejahteraan masyarakat (people).

PT. Sido Muncul berusaha mengawinkan antara bisnis dan sosial, dimana yang terjadi adalah kesuksesan. Dalam kuliah Tata Kelola CSR juga pernah dijelaskan bahwa perusahaan yang kompetitif adalah perusahaan yang mengintegrasikan dimensi sosial ke dalam strategi bisninsnya. Seperti yang dituturkan oleh Dirut PT. Sido Muncul Irwan Hidayat sekali lagi yang saya kutip pada artikel yang berbeda

Ada sinergi antara campaign dan corporate social responsibility (CSR). “Di balik ini, sebenarnya buat saya dua-duanya mempunyai maksud yang sama, yakni promosi. Tapi, promosi kami langsung mempunyai unsur pemberdayaan dan membantu orang lain. Ini cara beda dari kami,”[2]

Promosi-promosi implementasi CSR menurut saya cukup bagus demi memberikan informasi pada masyarakat akan kegiatan CSR melalui berbagai media. Bukan hanya di pahami sebagai pencitraan semata, tapi juga agar masyarakat tahu mana perusahaan-perusahaan yang memang telah melakukan CSR, sehingga berita merupakan sebuah laporan. Sido Muncul dapat dikategorikan menjadikan program CSR cause promotions sebagai fokus utama dalam mewujudkan komunikasi perusahaan yakni dengan building awareness and concern dan persuading people to find out more yang biasa ditampilkan melalui iklan, contohnya iklan Sido Muncul yang menampilkan orang-orang cacat, truly Indonesia dan hasil-hasil penelitian dan uji standardisasi.

Mendirikan perusahaan memang bertujuan be profitable, tapi dalam pelaksanaanya juga harus sadar keberadaan sekitar dan tidak merugikan. Melakukan CSR secara normatif merupakan kewajiban moral bagi perusahaan apapun. Ketika perusahaan sebagai komunitas baru melakukan interveni terhadap masyarakat lokal, sudah menjadi kewajiban untuk melakukan adaptasi dan memberi kontribusi, karena keberadaannya telah memunculkan berbagai dampak baik positif maupun negatif.

Daftar Pustaka

Nurdizal M. Rachman, Asep Efendi dan Emir Wicaksana. 2011. Panduan Lengkap Perencanaan CSR. Jakarta: Penebar Swadaya

Dr. Mukti Fajar ND. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia; Studi tentang Penerapan ketentuan CSR  pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahmatullah dan Trianita Kurniati. 2011. PanduanPraktis Pengelolaan CSR. 2011. Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru

http://eprints.undip.ac.id/24965/1/SUMMARY_PENELITIAN_Riris_Rukma_Nisita.pdf diunduh pada 21 November pukul 21.47 WIB

http://abdulrahmanwahid.blogspot.com/2010/09/tanggung-jawab-sosial-manejer-ptsido.html diunduh pada 21 November 2011 pukul 21.56 WIB

http://kampus.marketing.co.id/2011/10/11/mensinergikan-campaign-dan-csr/ Diunduh pada 21 November 2011 pukul 21.33 WIB

http://dc162.4shared.com/doc/cp_W9Rl8/preview.html diunduh pada 23 November 2011 pukul 23.11 WIB

Pembagian Peran dalam Pekerjaan Domestik di RT 01 Dusun LegundI

Tugas Mata Kuliah Psikologi Gender

Makalah Studi Lapangan:

Pembagian Peran dalam Pekerjaan Domestik di RT 01 Dusun LegundI

Disusun oleh:

Amanda Nurul F.A        265869

 Rahmadhani N.I            272891

 Yudrani Chatrin S         282718

 Fransiska Rina M.S       282902

 Nurmalita Sari               288783

 Niza Nur Rahmanti       288975

 

TAHUN AJARAN 2011/2012

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA


 

PENDAHULUAN

 

Kecamatan Panggang terdiri dari enam Desa Girikerto, Desa Girisekar, Desa Girimulyo, Desa Giriwungu, Desa giriharjo, dan Desa Balong. Kuliah lapangan yang kami lakukan pada tanggal 09 desember 2011 sampai dengan tanggal 11 desember 2011 memberi pembelajaran yang luar biasa terutama di Desa Girimulyo. Terdapat beberapa keunikan tradisi di dalam desa ini. Tempat dimana saya dan teman-teman saya mengobservasi Desa Girimulyo terutama daerah RT01/RW03, Dusun Legundi, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Di desa ini juga terdapat beberapa kesenian yaitu seperti: karawitan, ketoprak dan slawatan. Namun daerah ini termasuk daerah yang kekurangan air. Tanahnya berupa tanah karst yang tidak bisa menyimpan air. Kekeringan akan melanda begitu musim kemarau datang. Di musim penghujan, masyarakat menampung air di Penampungan air hujan.  Kebutuhan air minum dan berbagai kebutuhan rumah tangga dipenuhi dari air hujan. Penampungan air hujan akan menampung air hujan sampai musim hujan berakhir. Pada tiga bulan pertama, masyarakat masih bisa memanfaatkan sisa air yang ada di Penampungan air hujan dengan pemakaian yang sangat minum. Ketika air di PAH mulai mengering, masyarakat memenuhi kebutuhan primernya ini dengan membeli air dari tangki-tangki air yang sering datang ke dusun Banyumeneng. Sayangnya, harga air tidaklah murah. Setiap bulannya, satu keluarga mengeluarkan sedikitnya Rp.120.000,00. Yang perlu dicatat, penghasilan rata-rata tiap keluarga hanya berkisar Rp. 300.000,00 tiap bulannya. Hal ini menyebabkan masyarakat Panggang tidak pernah beranjak dari kemiskinan. Namun hal ini semua tidak nurunkan pengabdian kepada tradisi yang ada di desa ini seperti pengabdian kepada mertua terlebih dahulu lalu pengabdian kepada tetangga setelah itu baru pengabdian kepada pasangan. Sudah menjadi suatu kewajaran bagi para wanita di Desa Panggang untuk membantu suami mencari nafkah, yaitu dengan bekerja di sektor publik. Adalah tanggung jawab kaum pria untuk bekerja di sektor publik guna mencari nafkah bagi keluarganya, dan adalah tanggung jawab kaum wanita untuk menjalankan dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Namun, dalam situasi seperti di Desa Panggang, khusunya di Dusun Legundi, dimana pria dan wanita sama-sama bekerja di sektor publik guna memenuhi kebutuhan keluarganya, akankah ada perbedaan peran dan tanggung jawab pria dan wanita pada sektor domestik? Akankah berlaku teori second shift atau terjadinya doble burdon bagi para wanita, ataukah akan ditemukannya kesetaraan gender dalam pembagian tugas di dalam rumah tangga? Hal tersebut adalah tema yang akan dijadikan permasalahan dalam pembahasan kali ini. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang pembagian peran suami dan istri dalam  pekerjaan domestik di Dusun Legundi.

 


 

METODE PENELITIAN

 

Pada kuliah lapangan di Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul 9-11 Desember 2011 lalu kami menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode semi grounded research. Dikatakan semi grounded research karena kami menentukan suatu permasalahan langsung pada lokasi penelitian tanpa menentukan tema sebelumnya, namun sebelumnya telah memiliki gambaran umum tentang kondisi dan kultur masyarakat setempat. Dalam melakukan penelitian ini kami memilih responden dengan sistem acak (random) dan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

  1. Observasi

Pada hari pertama kami sampai di Dusun Legundi, Kecamatan Panggang dan setelah beristirahat sejenak kami langsung melakukan observasi dengan berjalan – jalan melihat keadaan sekitar wilayah yang menjadi tempat tinggal kami. Kami melihat bagaimana para warga yang baru pulang dari ladang, jam berapa mereka pulang, apa saja yang mereka bawa dan apakah ada perbedaan “barang bawaan” antara laki – laki dan perempuan.

  1. Wawancara Mendalam

Setelah dirasa cukup berkeliling untuk observasi, kami menyapa dan mendatangi rumah salah satu warga untuk sekedar mengobrol. Wawancara yang kami lakukan pada hari pertama ini lebih berkesan seperti mengobrol karena selain untuk menciptakan rasa nyaman dan building rapport terhadap warga setempat, kami juga ingin mengetahui informasi sebanyak – banyaknya sebelum menentukan pokok permasalahan yang akan diteliti.

Pada hari kedua, wawancara yang dilakukan lebih sistematis karena kami telah menemukan permasalahan untuk diteliti. Wawancara dilakukan dengan memecah kelompok menjadi dua tim dan pertanyaan yang diajukan berpatokan pada interview guide yang telah disusun pada malam sebelumnya.

 

 

 

Alat Pengumpulan Data

  1. Kamera (dokumentasi)

Setiap melakukan observasi dan wawancara pada hari pertama hingga hari terakhir kami selalu menggunakan kamera untuk mendokumentasikan proses wawancara. Hal ini berguna sebagai arsip dalam penelitian kami.

  1. Fieldnote

Pada saat melakukan wawancara kami melakukan pencatatan terhadap poin – poin penting yang dikemukakan oleh responden. Pencatatan ini juga memudahkan kami dalam mengingat isi dari wawancara yang telah dilakukan.

  1. Perekam Suara

Selain melakukan pencatatan secara manual, kami juga merekam proses wawancara dengan menggunakan perekam suara yang terdapat di ponsel kami. Hal ini kami lakukan sebagai pengingat saat kami menuliskan hasil wawancara. Dengan mendengarkan rekaman wawancara secara berulang – ulang kami akan lebih mudah melakukan interpretasi data. Dan rekaman ini juga berfungsi sebagai penguat data yang kami tuliskan.

 


 

ISI

  1. A.    DASAR TEORI

Prescriptive Stereotype

Prescriptive stereotype atau stereotip perskriptif merupakan suatu kepercayaan tentang bagaimana laki-laki dan perempuan itu seharusnya berlaku dan bertindak dalam kehidupan sosialnya, sehingga hal tersebut akan berimplikasi pada bagaimana orang memandang dan memperlakukan individu sebagai pria atau wanita. Stereotip perskriptif membenarkan atau merasionalisasi sistem sosial dimana orang-orang secara tradisional menempati peran atau posisi status yang berbeda karena keanggotaan suatu kategori sosial. Jika terjadi penyimpangan maka akan menimbulkan amarah dan sanksi sosial dari masyarakat. Tetapi tidak semua stereotipe berfungsi sebagai stereotip preskriktif.  Salah satu contoh dari stereotip perskriptif bagi perempuan adalah sifat sensitif, perhatian, hangat, menyayangi anak-anak, ramah, setia, taat,  dan masih banyak lagi. Sementara itu, stereotip perskriptif yang diharapkan ada pada laki-laki adalah berjiwa pemimpin, berkepribadian kuat, mandiri, tegas, dan ambisius.

 

Schema Gender

Anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki dan begitu pula dengan anak perempuan. Pola bermain seperti ini tentu tidak asing dimata masyarakat, dan sudah menjadi hal yang lumrah. Beberapa anak terlihat lebih sering melewatkan waktu dengan teman sebaya pada salah satu fase perkembangan mereka. Fakta membuktikan; bagaimanapun membaurnya pola bermain seorang anak, tetap ada tendensi padanya untuk mencari atau memaksa kawan yang sejenis (Sugihastuti, dkk, 2007).

Fenomena ini menurut teori skema gender (Bem, dalam Rudman dkk, 2008, anak-anak belajar skema gender dari lingkungan sosial mereka, tetapi mereka juga rela mengadopsi dan membesar-besarkan perbedaan antara kedua jenis kelamin. Skema gender menjadi bagian dari identitas diri, preferensi influencing anak-anak, sikap, dan perilaku mereka karena mereka berusaha untuk bertindak dalam sosial sesuai dengan sifat “maskulin” atau “feminin” nya (Martin & rubel, dalam Rudman dkk, 2008). Dengan bertambah dewasanya anak, tipe jenis kelamin (sex typing) terjadi ketika mereka memahami stereotip “tepat” yang berhubungan dengan kelaki-lakian dan kepermpuanan dalam budaya mereka. Hal penting dari apa yang dipelajari anak tentang gender adalah berdasarkan observasi terhadap orang tua mereka dan mencoba menjadi seperti mereka.

 

Second shift

Second shift atau double burden atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan ‘beban ganda’ merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang diterima oleh perempuan. Beban ganda adalah beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya, sementara peran reproduksi perempuan sering sekali dianggap sebagai peran statis dan permanen. Sehingga walaupun jumlah perempuan pada sektor publik meningkat, tetapi tidak diiringi dengan berkurangnya beban kerja mereka pada sektor domestic. Hal ini dibuktikan dengan berbagai observasi yang menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90% dari seluruh pekerjaan rumah tangga. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah karena perempuan itu sendiri tidak merasa terbeban dan menganggap peran tersebut adalah salah satu kesenanggan dan bentuk pengabdian terhadap keluarga. Tindakan tersebut tentunya melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuans

 

  1. B.     DATA LAPANGAN

Dalam kuliah lapangan ini kelompok kami memfokuskan pada satu wilayah di daerah panggang yakni RT 01, RW 03, Dusun Legundi, Desa Giri Mulyo, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul Yogyakarta agar hasil lebih representatif. Di RT 01 ini terdapat 37 KK dengan rata-rata penduduk adalah lanjut usia, karena pemuda desa banyak yang meninggalkan rumah untuk menjadi buruh di kota. Dari penuturan Ketua RT 01, jenjang pendidikan yang mampu dicapai jika laki-laki adalah tingkat SMA, sedangkan perempuan rata-rata adalah SMP.

Dari 37 kepala keluarga, kami mendapat toatal sebelas responden yang berbeda,  yakni enam perempuan dan lima laki-laki, yang diambil secara acak. Kami juga menyesuaikan dengan keadaan setempat yang cukup sulit untuk menemui kaum lelaki yang sehari-hari bekerja pagi pulang sore hari.

Responden yang kami dapatkan adalah Ibu Saginem (60 tahun), Ibu Wiryosudarmo (70 tahun), Ibu Adi Sudarno (57 tahun), Ibu Riah, Ibu Fatimah (19 tahun), Pak Suratijo (62 tahun), Pak Uyadi (54 tahun) dan Pak Adi Pramono (56 tahun) yang merupakan ketua RT 01, Pak Tikuk, Pak Riyanto (40an tahun), dan Ibu Martodiyono (68 tahun).

  1. Ibu Saginem

Responden pertama yakni ibu Saginem seorang ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai buruh tani. saat ditemui, beliau sedang beristirahat bersama kedua temannya Ibu Wiryosudarmo dan Ibu Adi Sudarno di pematang sawah. Beliau memiliki tiga anak perempuan. Suaminya bekerja sebagai petani yang juga merupakan pekerjaan pokok. Menurut penuturan beliau bahwa suaminya akan ikut dalam membantu pekerjaan di rumah apabila istri dalam keadaan hamil. Selain itu suami juga ikut dalam mengurusi anak pasca istri melahirkan. Namun walaupun begitu, tugas pokok domestik tetap dikerjakan oleh istri. Rata-rata seorang lelaki yang sudah memiliki keluarga akan menyerahkan semua pekerjaan domestik ke istri, karena hal itu merupakan kewajiban istri yang mengabdi pada suami. Seperti penuturan ibu Saginem berikut ini :

“piyantun dusun, ratak-ratak’e, wong tani niku mboten wonten, pun gadhah simah nggih tetep garwane sing nopo-nopo” ……………….“nek coro ndusun, wong lanang niku bagiane ten ladang, macul, nggathul, golek duit”.

Maksudnya adalah pembagian kerja antara suami dan istri di Dusun legundi RT 01 ini sudah jelas bahwa istri di rumah dan suami yang mencari nafkah. Seorang istri yang turut bekerja di ladang, hal tersebut hanya sampingan yang dilakukan untuk menambah penghasilan di dalam keluarga. Ketika ditanya apakah pembagian kerja seperti ini begitu menyulitkan dan menjadi beban, Ibu Saginem mengatakan ini sudah merupakan tradisi turun temurun.

  1. Ibu Wiryosudarmo dan Ibu Adi Sudarno

Responden kedua dan ketiga Ibu Wiryosudarmo dan Ibu Adi Sudarno, beliau berdua memang kurang lebih memiliki jawaban yang sama dengan Ibu Saginem, dan Beliau berdua merupakan responden dengan pelengkap jawaban dari apa yang dituturkan oleh Ibu Saginem. Menurut penuturan Ibu Wiryosudarmo, rata-rata perempuan disini menikah pada usia muda dan begitu sama-sama tertarik langsung dinikahkan oleh orangtua. Dan pernikahan ini pun dilakukan dengan senang hati walaupun dilakukan di usia belia seperti Ibu Adi Sudarno yang menikah pada usia 13 tahun.

  1. Bapak Suratijo

Responden keempat adalah Pak Suratijo berumur 62 tahun yang bekerja sebagai buruh tani yang juga kami temui saat masih duduk-duduk sambil merokok di pinggir sawah. Bertani merupakan pekerjaan pokoknya. Beliau memiliki empat anak diantaranya tiga laki-laki dan satu perempuan. Istrinya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga kadang membantunya bertani untuk menambah penghasilan. Saat ditanya apakah beliau mau membantu istrinya bekerja di rumah seperti cuci piring, dan memasak, beliau menjawab tidak mau karena dianggap sesuatu yang “saru” atau menurutnya tidak “wangun” dikerjakan oleh seorang suami karena ini sudah menjadi sebuah tradisi baik dalam keluarga maupun di Dusun Legundi khususnya RT 01 yang menjadi tempat penelitian. Berikut penurutan beliau :

pawon niku ditangani wong siji wae iso, ndadak pirang-pirang”……..”trimo ngelih”

Menurutnya dapur hanya cocok bagi seorang perempuan. Bila dapur bisa dikerjakan satu orang, mengapa harus dua orang yang melakukan. Pak Suratijo pun mengaku lebih baik dia kelaparan dari pada harus memasak, hal ini seperti lebih baik menyiksa diri dari pada harus menanggung malu dan menurunkan kewibawaan seorang suami. Namun beliau mau untuk ikut serta dalam hal pengurusan anak karena menurutnya ini merupakan hal yang wajar bila dikerjakan seorang suami. Tapi menurut penuturan Pak Suratijo walaupun bagaimanapun ia juga merawat anaknya, bahwa anak-anaknya lebih cenderung dekat dengan ibunya ““apa-apa bu, apa-apa bu” sehingga pengurusan anak akhirnya lebih ke ibu.

  1. Bapak Tikuk

Responden kelima adalah Bapak Tikuk. Tempat tinggal Pak Tikuk tepat berada di depan rumah penginapan kami, yaitu di Dusun Legundi RT 01. Dahulu Pak Tikuk pekerjaannya adalah sebagai seorang Kepala Sekolah di SD Pejaten, kecamatan Panggang, kabupaten Gunung Kidul. Sejak beliau pensiun, pekerjaannya sekarang adalah sebagai petani dan mengurus ternak-ternaknya. Saat ini Pak Tikuk tinggal bersama dengan istri dan anak ketiganya. Pak Tikuk mempunyai 7 orang anak, yang terdiri dari 5 laki-laki dan 2 perempuan. Namun keenam anaknya sudah berkeluarga dan bekerja di Kupang dan Jogjakarta. Dan satu putra nomor tiga lah yang masih belum menikah dan pekerjaannya sekarang adalah membantu Pak Tikuk bekerja di sawah dan mengurusi ternak-ternaknya.

Dengan pendapatan yang didapatkan dari pekerjaannya sebagai seorang Kepala Sekolah ditambah juga sebagai petani, dalam hal pendidikan, bapak Tikuk memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilihi hendak bersekolah sampai jenjang apa nantinya. Dan dari ketujuh anaknya ini, 4 anak memilih untuk bersekolah hingga jenjang Akademi dan 3 anaknya memilih bersekolah hingga jenjang STM.

Walaupun dengan rumah yang sederhana, namun tampak terlihat sekali keharmonisan dari keluarga Pak Tikuk, terlebih pak Tikuk dengan istrinya ini. Walaupun beliau merupakan seorang laki-laki, namun tidak pernah beliau merasa malu untuk membantu pekerjaan rumah seperti istrinya. Bahkan justru beliau merasa malu jika harus serba merepotkan istrinya. Terlihat memang ada sebuah kerjasama yang baik dalam keluarga ini. Pak Tikuk pun memaparkan :

“nganti aku tuo, aku ora bakal ngrepoti bojo ku iki mbak” (sampai saya tua, saya tidak akan pernah merepotkan istri saya ini mbak)

Dari keluarga Bapak Tikuk ini dapat dilihat bahwa dengan pendidikan yang baik yang dimiliki oleh Pak Tikuk, yang terbukti dengan pak Tikuk mampu menjadi seorang kepala sekolah, ternyata turut mendukung pak Tikuk untuk mempunyai cara berpikir yang lebih maju. Terbukti dengan tidak lagi Pak Tikuk tergantung dengan istrinya dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah, serta adanya kebebasan untuk memilih pendidikan yang akan ditempuh oleh ketujuh anaknya, dengan alasan anak-anaknya lebih mengetahui mana yang menurut diri mereka terbaik  atau sesuai dengan bakatnya serta agar anak merasa senang.

  1. Bapak Riyanto

Responden keenam adalah Bapak Riyanto. Sama seperti dengan Bapak Tikuk, Bapak Riyanto seorang ketua perkumpulan Tani di Dusun tersebut. Bapak Riyanto tinggal bersama dengan istrinya dan kedua anaknya. Anak Pak Riyanto yang pertama adalah seorang perempuan dan anak yang kedua adalah laki-laki. Bapak Riyanto bekerja sebagai seorang Bendahara Desa dan pekerjaan tambahannya adalah sebagai seorang petani. Sedangkan istrinya bekerja sebagai seorang guru TK.

Bersama dengan istrinya dan kedua anaknya, keluarga dari pak Riyanto ini tampak harmonis sekali. Namun ternyata dibalik keharmonisan dalam keluarganya ini, ketika kami menanyakan mengenai pembagian kerja dalam keluarganya, sangat mengagetkan sekali ketika pak Riyanto justru menjelaskan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan rumah seluruhnya dikerjakan oleh istrinya. Pekerjaan dari pak Riyanto hanyalah mencari uang saja. Walaupun memang dalam urusan ngemong (mengasuh) anaknya pada saat kecil pak Riyanto tetap mau berbagi dengan istrinya, namun untuk pekerjaan-perkerjaan rumah yang lainnya, seperti menyapu, memasak, atau mencuci, sama sekali pak Riyanto tidak mau melakukannya. Bahkan pak Riyanto memaparkan :

“trimo ngeleh” (memilih untuk lapar)

Beliau menuturkan demikian yang menurutnya lebih baik daripada harus memasak sendiri. Dan ketika kami menanyakan alasannya, pak Riyanto menjelaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah seperti itu adalah pekerjaan seorang perempuan dan sebagai salah satu aparat desa jika beliau harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti itu, nanti wibawa yang beliau miliki dapat hilang di mata masyarakat.

Dan ketika kami mencoba menanyakan keadaan seperti itu kepada istri dari bapak Riyanto, ternyata istrinya justru membenarkan pendapat dari suaminya, bahkan istrinya mengatakan “saru” (tidak layak) jika dilihat oleh masyarakat apabilasuaminya terlihat sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, apalagi ditambah dengan pekerjaan suaminya adalah sebagai seorang aparat desa. Karena istri dari Bapak Riyanto ini juga meyakini bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah adalah kewajiban dari seorang istri untuk melakukannya. Bahkan ia merasa malu kepada tetangga-tetangganya jika pak Riyanto harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti dirinya.

Karena pekerjaan-pekerjaan rumah semua dikerjakan oleh istrinya, maka tidak aneh jika kedua anaknya lebih merasa dekat dengan ibunya. Bahkan karena terlalu dekatnya, ketika istri dari pak Riyanto ini harus melanjutkan perkuliahan sampai dengan S1 sebagai salah satu syarat untuk tetap menjadi guru, tentu saja pekerjaan ganda dirasakan oleh istrinya. Ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan keluarganya, setelah itu ia pergi bekerja, dan dilanjutkan dengan pergi kuliah di Yogya, hingga malam baru sampai di rumah, dan ketika sampai di rumah kedua anaknya sudah tidur. Ini menjadikan hubungan yang dulu dekat dengan kedua anaknya menjadi jauh. Dampak dari itu yaitu, putranya tidak mau pergi ke sekolah kurang lebih selama 1 tahun, karena ia menunggu ibunya menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Tampak begitu dekatnya hubungan antara ibu dan anak dalam keluarga ini.

  1. Ibu Riah

Responden ketuju adalah Ibu Riah. Sama seperti dengan responden yang sebelumnya, responden yang ketuju ini juga bertempat tinggal di paduhuhan Legundi RT 01 RW 03 Desa Girimulyo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunung Kidul. Suami dari bu Riah ini bekerja sebagai seorang petani. Ibu Riah mempunyai empat orang anak yang terdiri dari 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.

Ketika kami wawancarai, ibu Riah sedang berada di depan rumahnya. Beliau sedang mencabuti rumput-rumput yang ada di sekitar rumah. Ketika kami menanyakan mengenai suaminya, beliau menjelaskan bahwa suaminya sedang bekerja di sawah sejak pagi dan baru akan pulang ke rumah sekitar pukul 5 sore. Aktivitas dari bu Riah ini memang banyak dihabiskan di rumah saja, karena ia harus mengurusi segala pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, menyapu, dan mencuci. Apalagi ditambah dengan anak perempuannya yang baru saja melahirkan, bu Riah disuruh suaminya untuk ikut menjaga ananya di rumah.

Dan ketika kami menyakan mengenai ada atau tidaknya keinginan untuk bekerja di luar rumah seperti suaminya, justru bu Riah memaparkan bahwa dari dahulu sampai dengan saat ini pekerjaannya hanya lah cukup memasak untuk keluarga dan merawat anak-anaknya, untuk urusan mencari uang adalah tugas dari suaminya. Bahkan untuk pembagian tugas di keluarganya, suaminya sama sekali tidak mau terlibat dalam mengurusi pekerjaan-pekerjaan di rumah. Sehingga beliau harus melakukan pekerjaan rumah seperti berbelanja di pasar seorang diri. Walaupun beliau harus membawa kelapa dan beras yang begitu beratnya, namun ia tetap melakukannya tanpa bantuan suaminya. Bahkan ketika bu Riah jatuh sakitpun, pekerjaan-pekerjaan rumah tetap beliau lah yang mengerjakan, seperti pernah dahulu beliau mengasuh anaknya yang masih kecil sambil tiduran karena ia sedang sakit.

Namun dengan keadaan yang seperti itu, tidak membuat bu Riah merasa marah dan mengeluh kepada suaminya. Karena bu Riah meyakini bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah adalah kewajiban bagi seoarang perempuan. Ketika kami menanyakan mau atau tidaknya jika suaminya turut membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah, beliau justru tertawa. Bu riah merasa malu kepada tetangga-tetangganya jika suaminya turut membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti dirinya.

  1. Ibu Martodiyono

Responden selanjtnya adalah Ibu Martodiyono 62 tahun yang kami temui di rumahnya yang sederhana dimana beliau hanya tinggal berdua dengan suaminya. Sedangkan anak tunggalnya seoarng lelaki bekerja di Semarang dan telah memiliki keluarga. Pekerjaan Ibu Marto ini juga seorang Ibu rumah tangga dan terkadang mencari kayu bakar dan membantu suami menjadi buruh tani. menurut penuturan beliau, seorang buruh tani laki-laki dibayar lebih mahal dari perempuan yakni 20.000 rupiah dengan bekerja “memacul” sawah. Sedangkan mendangir dikerjakan oleh kaum perempuan dengan upah sebesar 15.000 rupiah dari pagi hingga sore. Hal ini dikarenakan tenaga laki-laki lebih kuat dan kemampuan untuk mengerjakan lahan pertanian lebih banyak dibandingkan laki-laki. Mungkin hal ini lebih pada persepsi turun temurun bahwa perempuan adalah kaum yang lemah sedangkan laki-laki lebih kuat, sehingga pekerjaan perempuan akhirnya lebih diarahkan pada pekerjaan domestik. Menurut beliau, hal ini sudah tradisi turun temurun sehingga hanya mengikuti saja.

  1. Bapak Uyadi dan Mbak Fatimah

Responden kami selanjutnya adalah Bapak Uyadi dan Fatimah. Bapak Uyadi mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-laki, dan salah satu anak perempunnya bernama Fatimah. Saat kami wawancarai Bapak Uyadi sedang duduk santai sambil bermain bersama dengan cucu-cucunya. Saat ini memang bapak Uyadi tidak dapat bekerja seperti biasanya dikarenakan kakinya sedang mengalami patah tulang karena kecelakaan. Dan sejak pak Uyadi jatuh sakit, pekerjaan di sawah dilakukan oleh istrinya. Tampak bahwa ada pembagian kerja yang baik dalam keluarga ini. Terbukti dengan pak Uyadi dalam posisi sakit mau menjaga cucu-cucunya yang sedang ditinggal bekerja di Yogyakarta oleh orang tuanya, dan istrinya pun mau bekerja di sawah menggantikan suaminya yang sedang sakit. Bapak Uyadi juga menjelaskan bahwa ketika dahulu dirinya tidak sakit pun, beliau tetap mau membantu istrinya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti menyapu. Tampak dalam keluarga ini sudah mulai ada pembagian kerja yang baik.

Dalam kesempatan wawancara tersebut kami pun berkesempatan untuk mewawancarai salah satu anak dari Bapak Uyadi yang bernama Fatimah. Fatimah merupakan anak kedua dari pak Uyadi. Saat ini ia berumur 19 tahun. Pada saat umurnya beranjak 17 tahun, ia sudah menikah dikarenakan ia tidak melanjutkan sekolah lagi, dan tradisi di daerah itu memang jika ada seorang perempuan remaja yang sudah tidak bersekolah lagi, tidak menunggu waktu yang lama, maka akan datang seorang laki-laki untuk melamarnya.

Fatimah sudah mempunyai satu orang anak laki-laki. Dan suaminya bekerja sebagai seorang petani. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan Fatimah adalah menjaga anaknya. Di pagi hari saat bangun tidur sekitar pukul 5 Fatimah bangun lalu memasak, sedangkan suaminya di pagi hari saat bangun tidur yang ia segera bersiap diri untuk bekerja di ladang. Dan disela menjaga anaknya, seperti saat anaknya sedang tidur, Fatimah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu, dan mencuci. Namun saat suaminya sudah pulang dari bekerja, suaminya pun tetap turut mau membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak air.

Tampak dalam keluarga muda ini mulai ada pembagian kerja di rumahnya, walaupun suaminya sebatas membantu memasak air dan menjaga anaknya. Hal ini salah satunya menjadi gambaran kecil di keluarga muda saat ini yang sudah terkena dampak dari globalisasi, sehingga cara berpikir mereka pun semakin maju. Apabila dahulu perempuan selalu merasa bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah hanya merupakan tanggung jawab dirinya, namun saat ini laki-laki mulai mau terlibat dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.

  1. Bapak Adi Pramno

Responden kami yang selanjutnya adalah bapak Adi Pramono. Beliau adalah seorang ketua RT 01 di Dusun Legundi. Pak Adi bekerja sebagai seorang petani. eliau tinggal bersama dengan istrinya dan salah satu anak perempuannya, karena anak pertamanya yaitu seorang laki-laki sudah bekerja di Semarang. Dalam hal pendidikan Pak Adi memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. Terbukti dengan anak perempuannya yang sudah tidak lagi mau untuk bersekolah dan saat ini hanya di rumah saja, namun pak Adi tidak pernah memaksakan agar anak perempuannya tersebut segera bersekolah lagi atau bekerja. Karena menurut Beliau perempuan pada akhirnya nanti akan bekerja di rumah saja, dan hanya sebatas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Untuk itu anak perempuannya ini hanya berada di rumah membantu ibunya mengerkajan pekerkaan-pekerjaan rumah, seperti memasak dan menyapu. Saat wawancara berlangsung beliau juga mengatakan bahwa saat masih belia dulu bapak dari Pak Adi pernah memberi wejangan bahwa seorang anak laki-laki paling tidak harus bersekolah dibanding dengan perempuan. Walaupun perempuan nantinya hanya bekerja di rumah, Pak Adi juga menyadari bahwa pekerjaan perempuan cukup melelahkan, tapi menurutnya ini sudah menjadi kewajiban seoarng perempuan yang akan menjadi seorang istri kelak. Beliau juga memaparkan bahwa pembagian kerja seperti ini tidak pernah dikeluhkan dalam keluarga Pak Adi sendiri khususnya. Saat ditanya mengenai kedekatan anaknya dengan Pak Adi sendiri, beliau menuturkan bahwa anaknya lebih sering dekat dengannya, apalagi kalau masalah uang dan membeli kebutuhan, menurutnya kalau minta apa-apa selalu datang pada Pak Adi seperti penuturan Pak Adi berikut ini :

“apa-apa pak, minta duit,pak, minta pulsa,pak”.

Hal ini membuktikan dan apa yang disadari selama ini bahwa kedekatan antara bapak dan anak hanya sebatas kedekatan ekonomis dalam arti kedekatan yang terjadi ayah identik sebagai pencari nafkah dan ibu memang benar-benar dekat secara emosional.

 


 

 

  1. C.    ANALISIS

Dalam teori gender, khususnya pendekatan struktur sosial, dijelaskan bahwa “social position” mengacu pada peran dan pekerjaan dari anggota grup secara khas dan menunjukkan “tempat” mereka dalam status dan kekuatan hirarkhi. Variabel struktural berperan penting dalam membentuk hubungan gender, berisi mengenai stereotip gender dan memperhatikan perbedaan jenis kelamin dalam watak dan perilaku.

Beberapa pemisahan peran menghasilkan harapan stereotip, contohnya karena wanita berkaitan dengan pengasuhan anak, maka orang seringkali mengasosiasikan wanita dengan kepribadian komunal, seperti suka menolong, membesarkan anak, dan lain-lain. Hampir semua teori peran sosial menstereotipkan pria sebagai orang yang lebih asertif, kompetitif, dan agresif dan pada peran pekerjaan non domestik yang cenderung memerlukan keberanian fisik dan kemampuan leadership.

Penjelasan mengenai pendekatan struktur sosial sebagai salah satu teori gender tersebut, sekiranya adalah suatu fenomena yang dapat ditemui di Dusun Legundi RT 01, Kecamatan Panggang. Berdasarkan data dari lapangan, ditemukan bahwa terdapat pemisahan peran yang sangat terlihat pada hampir seluruh keluarga di Dusun Legundi. Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sangat diasosiasikan dengan kepribadian-kepribadian yang melekat padanya, misalnya seorang ibu/perempuan memiliki sifat komunal dan bapak/laki-laki memiliki sifat maskulin.

Asosiasi yang melekat pada jenis kelamin tersebut juga mengahsilkan suatu harapan stereotip terhadap kedua jenis kelamin. Hampir semua responden menyatakan bahwa seorang wanita, karena merupakan orang yang mengandung dan melahirkan, ia bertugas dalam pengasuhan anak. Ia juga bertanggung jawab atas pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Sedangkan di lain sisi, tugas pria adalah untuk mencari nafkah, sehingga ia melakukan pekerjaan di luar rumah, dan tidak turut membantu sang istri dalam pekerjaan rumah tangga. Misalnya saja Bapak Suratijo. Seorang petani tersebut tidak paham mengenai urusan masak-memasak, dan cenderung untuk tidak mau tahu. Ia memilih untuk lapar daripada harus memasak sendiri, dan menganggap bahwa urusan ‘dapur’ cukup dikerjakan oleh seorang istri saja.

 

“…pawon niku ditangani wong siji wae iso, ndadak pirang-pirang”(Suratijo, 2011)

Stereotip yang melekat pada kedua jenis kelamin tersebut juga dilanggengkan oleh adanya rewards dan punishments. Dikatakan dalam asal mula serta konten stereotip gender, bahwa harapan stereotip yang berkembanga juga dikuatkan dengan adanya rewards dan punishment agar individu bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya saja Ibu Riyanto. Ia memilih untuk melakukan segala tugas domestik secara mandiri tanpa bantuan sang suami karena takut mendatangkan pandangan negatif dari para tetangga. Ia menjelaskan adalah ‘saru’ jika seorang suami terlihat turut melakukan pekerjaan domestik sehingga ia memilih untuk mengerjakannya sendiri.

Selanjutnya, harapan stereotip yang melekat pada laki-laki maupun perempuan tersebut kemudian dapat digolongkan menjadi stereotip preskriptif. Didefinisikan bahwa stereotip preskriptif merupakan kepercayaan tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak atau berperilaku. Dalam Dusun Legundi, ketika responden ditanya mengapa pembagian tugas adalah istri di ‘rumah’ dan suami bekerja di luar, hampir semua responden menyatakan bahwa itu sudah merupakan tradisi atau budaya yang turun temurun. Adalah tradisi bahwa seorang istri bertanggung jawab atas pekerjaan domestik, sementara suami bekerja di ladang. Hal tersebut mencerminkan adanya pembenaran atau perasionalisasian mengenai sistem sosial di mana orang-orang secara tradisional menempati peran dan status posisi yang berbeda karena keanggotaan suatu kategori sosial.

Dari data mengenai pembagian tugas dalam pekerjaan rumah tangga, terdapat sesuatu yang menarik untuk disoroti. Ditemukan bahwa terdapat hubungan antara keterlibatan suami dalam mengurusi pekerjaan domestik dengan latar pendidikan laki-laki tersebut. Laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi cenderung turut membantu perempuan mengerjakan tugas domestik. Hal ini sekiranya adalah karena semakin tinggi pendidikan yang diraih oleh seseorang, semakin luas pula wawasan yang dimilikinya. Warga yang memiliki latar belakang SMA atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat interaksi yang lebih tinggi dengan orang lain, sehingga wawasan dan pikirannya juga akan lebih terbuka daripada orang dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Misalnya saja Bapak Adi Pramono dan Bapak Tikuk, yang cenderung lebih fleksibel dalam pembagian tugas rumah tangga. Walau pekerjaan domestik adalah tetap tanggung jawab sang istri, namun ia tidak keberatan dan sering membantu istrinya mengerjakan pekerjaan tersebut. Beliau berdua juga beranggapan bahwa merawat anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, sehingga ia juga turut merawat dan mengasuh anaknya dari kecil. Bapak Adi Pramono adalah lulusan SMEA dan sejak SD telah merantau ke kota, sedangkan Bapak Tikuk merupakan Kepala Sekolah di SD Pejaten. Beliau berdua merupakan contoh warga yang memiliki pemikiran yang terbuka sehingga tidak terlalu ‘saklek’ dengan stereotip yang ada.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah, walau stereotip yang terdapat pada Dusun Legundi merupakan suatu kepercayaan yang turun temurun, belum dapat disimpulkan apakah penyimpangan dalam stereotip tersebut akan menghasilkan amarah dan hukuman sosial sekaligus keterkejutan dari warga Dusun tersebut. Reaksi negatif berupa pengucilan atau hukuman sosial lainnya, yang timbul akibat tidak dilakukannya stereotip merupakan suatu karakteristik dari stereotip preskriptif. Ketika belum dapat disimpulkan apakah ‘pelanggaran’ atau ‘penolakan’ terhadap stereotip yang terdapat di Dusun Legundi akan mendatangkan hukuman sosial ataukah tidak, adalah sesuatu yang harus digali kembali guna megetahui dan dapat menjelaskan secara mendalam mengenai karakteristik stereotip preskriptif yang terdapat pada Dusun Legundi tersebut.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada Dusun Legundi, terdapat pembagian peran berdasarkan sifat atau kepribadan yang melekat pada kedua jenis kelamin. Adalah tanggung jawab seorang istri/perempuan untuk ‘membereskan’ segala pekerjaan domestik di keluarganya. Walau demikian, telah ditemukan bahwa pekerjaan perempuan di Dusun Legundi, khususnya di RT 01, tidak hanya sebagai ibu rumah tangga saja. Para perempuan juga turut membantu mencari nafkah dengan bekerja di sektor publik, entah sebagai petani ataupun sebagai guru TK. Walau perempuan turut membantu perekenomian keuarga untuk mencari nafkah, mereka tetap dibebani pekerjaan rumah tangga. Tanggung jawab utama mereka tetap menjalankan pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan terjadinya second shift di kalangan ibu-ibu di Dusun Legundi, yaitu walau mereka memiliki pekerjaan di  sektor publik, yang mampu membantu perekonomian keluarga, para perempuan masih bertanggung jawab atas pekerjaan domestik dalam internal keluarganya.

Harapan stereotip yang ‘hidup’ di dalam lingkungan sosial Dusun Legundi tidak hanya disebabkan karena tradisi yang sudah turun temurun, ataupun dari interaksi sosial antar warga yang dapat dijadikan sebagai sosialisasi dari tradisi tersebut. Pelanggengan stereotip mengenai wanita dan pria beserta jenis pekerjaan yang melekat padanya juga disebabkan karena adanya self-stereotyping, konfirmasi, dan konformitas. Self-stereotyping disini adalah orang dengan sukarela menginternalisasi stereotip yang terdapat dalam masyarakat ke dalam dirinya. Terlihat bahwa perempuan di Dusun Legundi secara sukarela mengadopsi dan menginternalisasi harapan stereotip yang ditujukan kepadanya. Hal ini juga berkaitan dengan pembelajaran dan pembiasaan sedini mungkin mengenai tugas-tugas yang ‘seharusnya’ dilakukan oleh kaum perempuan. Orang tua telah mengajarkan kepada anak perempuannya agar mereka terbiasa dengan tugas-tugas rumah tangga, sehingga di kemudian hari mampu mengerjakannya dengan baik. Hal tersebut mencerminkan terjadinya dan terbuktinya teori skema gender di Dusun Legundi, bahwa anak-anak belajar gender dari lingkungan sosial mereka, dan mereka juga rela mengadopsi perbedaan tugas dan pekerjaan antara kedua jenis kelamin. Contohnya adalah yang terjadi dalam keluarga Bapak Adi Pramono. Anak perempuannya yang telah memutuskan untuk tidak melanjutkan ke tingkat SMA, diajak untuk mengisi waktunya dengan membantu sang ibu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia telah diperkenalkan dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut sejak kecil, dan iapun tidak menolak untuk melakukannya. Hal tersebut adalah salah satu contoh terjadinya teori skema gender di Dusun Legundi.

Faktor lain yang mempertahankan stereotip yang ada di Dusun Legundi adalah adanya konfirmasi dan konformitas. Konfirmasi di sini memiliki arti terdapat suatu pembenaran mengenai sistem sosial beserta stereotip yang melekat pada setiap anggota masyarakat. Karena adanya pembenaran, stereotip tersebut kemudian dipertahankan melalui konformitas sosial, yaitu adanya penyesuaian diri yang dilakukan individu terhadap tata cara atau norma yang terdapat dalam lingkungan sosialnya. Warga Legundi cenderung berperilaku sesuai dengan karakteristik jenis kelaminnya yang telah turun temurun, sehingga turut melanggengkan stereotip yang ada di lingkungan sosialnya.

KESIMPULAN

 

Dari data lapangan dan hasil analisis, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan di Dusun Legundi. Perbedaan pekerjaan tersebut kemudian mengakibatkan adanya pembagian tugas dan peran di dalam keluarga. Pembagian peran tersebut muncul karena adanya proses asosiasi dengan karakteristik atau kepribadian yang melekat pada kedua jenis kelamin. Seorang perempuan, yang memiliki kodrat untuk mengandung dan melahirkan, kemudian distreotipkan sebagai orang yang komunal sehingga adalah menjadi tugasnya untuk merawat dan mengasuh anak. Selain itu, perempuan di Desa Legundi juga diidentikkan sebagai orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan domestik di keluarganya. Hanya sedikit laki-laki yang turut membantu sang istri dalam merawat dan megasuh anak, terlebih lagi membantu dalam pekerjaan rumah tangga. Sudah menjadi tradisi bahwa seorang perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, dan seorang laki-laki bekerja mencari nafkah. Dari temuan lapangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran domestik masih dominan dilakukan oleh seorang perempuan, karena merupakan tradisi dan merupakan kepercayaan warga RT 01 yang diturunkan secara turun temurun. Laki-laki yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah mereka yang ditemukan mau membantu perempuan dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Walau demikian, masih dibutuhkan berbagai informasi untuk lebih mendalami fenomena tersebut. Hasil dan kesimpulan yang telah disusun merupakan kesimpulan awal mengenai pembagian peran domestik pada warga Dusun Legundi. Agar mendapatkan hasil yang lebih mendalam, diperlukan observasi dan wawancara lebih lanjut guna mendapatkan keterangan-keterangan yang dapat mendukung temuan awal.

Daftar Pustaka

 

Rudman, L.A., & Glick, P. 2008. The Social Psychology Of Gender, How Power and Intimacy Shape Gender relations. New York: The Guilford Press. Inc

Sugihastuti., Septiawan., & Hadi, I. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://ehlt.flinders.edu.au/education/DLiT/2002/family/gender.htm diunduh tanggal 23 Desember 2011pukul 16:55 WIB

KULAP PANGGANG PSIKOLOGI GENDER 2011

Data lapangan

Dalam kuliah lapangan ini kelompok kami memfokuskan pada satu wilayah di daerah panggang yakni RT 01, RW 03, Dusun Legundi, Desa Giri Mulyo, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul Yogyakarta agar hasil lebih representatif. Di RT 01 ini terdapat 37 KK dengan rata-rata penduduk adalah lanjut usia, karena pemuda desa banyak yang meninggalkan rumah untuk menjadi buruh di kota. Jenjang pendidikan yang mampu dicapai jika laki-laki adalah tingkat SMA, sedangkan perempuan rata-rata adalah SMP yang kami daptkan dari hasil penuturan Ketua RT 01.

Dari 37 KK, kami mendapat toatal 11 responden yang berbeda, yakni 6 perempuan dan 5 laki-laki yang diambil secara acak. Kami juga menyesuaikan dengan keadaan setempat yang cukup sulit untuk menemui kaum lelaki yang sehari-hari bekerja pagi pulang sore hari.

Responden yang kami dapatkan adalah Ibu Saginem (60 tahun), Ibu Wiryosudarmo (70 tahun), Ibu Adi Sudarno (57 tahun), Ibu Riah, Ibu Fatimah (19 tahun), Pak Suratijo (62 tahun), Pak Uyadi (54 tahun) dan Pak Adi Pramono (56 tahun) yang merupakan ketua RT 01, Pak Tikuk, Pak Riyanto (40an tahun), dan Ibu Martodiyono (68 tahun)

Responden pertama yakni ibu Saginem seorang ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai buruh tani. saat ditemui, beliau sedang beristirahat bersama kedua temannya Ibu Wiryosudarmo dan Ibu Adi Sudarno di pematang sawah. Beliau memiliki tiga anak perempuan. Suaminya bekerja sebagai petani yang juga merupakan pekerjaan pokok. Menurut penuturan beliau bahwa suaminya akan ikut dalam membantu pekerjaan di rumah apabila istri dalam keadaan hamil. Selain itu suami juga ikut dalam mengurusi anak pasca istri melahirkan. Namun walaupun begitu, tugas pokok domestik tetap dikerjakan oleh istri. Rata-rata seorang lelaki yang sudah memiliki keluarga akan menyerahkan semua pekerjaan domestik ke istri, karena hal itu merupakan kewajiban istri yang mengabdi pada suami. Seperti penuturan ibu Saginem berikut ini :

“piyantun dusun, ratak-ratak’e, wong tani niku mboten wonten, pun gadhah simah nggih tetep garwane sing nopo-nopo” ……………….“nek coro ndusun, wong lanang niku bagiane ten ladang, macul, nggathul, golek duit”.

Maksudnya adalah pembagian kerja antara suami dan istri di Dusun legundi RT 01 ini sudah jelas bahwa istri di rumah dan suami yang mencari nafkah. Seorang istri yang turut bekerja di ladang, hal tersebut hanya sampingan yang dilakukan untuk menambah penghasilan di dalam keluarga. Ketika ditanya apakah pembagian kerja seperti ini begitu menyulitkan dan menjadi beban, Ibu saginem mengatakan ini sudah merupakan tradisi turun temurun. Namun ada sebuah temuan menarik ketika mencoba untuk bertanya lebih dalam bahwa ternyata kegiatan jual beli di pasar yang notabene merupakan pekerjaan publik, dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini kaum suami hanya bertindak sebagai tukang angkut-angkut barang yang dimanfaatkan tenaganya seperti mengangkut kelapa. Kaum suami ini tidak mau untuk terlibat dalam perdagangan yang menurutnya itu merupakan tugas perempuan. Seperti penuturan Ibu Saginem berikut ini :

“mung teko’bruk’,njut tinggalke”.

Yang menandakan bahwa menurut kaum suami jual-beli merupakan pekerjaan feminin. Ibu Saginem juga menuturkan bahwa lelaki sudah di stereotipkan sebagai kaum yang tidak pintar dalam hal berhitung dan memegang uang

“Bapak-bapak niku nopo nggih saged itung-itungan….” ungkap Ibu saginem

Responden kedua dan ketiga Ibu Wiryosudarmo dan Ibu Adi Sudarno, beliau berdua memang kurang lebih memiliki jawaban yang sama dengan Ibu Saginem, dan Beliau berdua merupakan responden dengan pelengkap jawaban dari apa yang dituturkan oleh Ibu Saginem. Menurut penuturan Ibu Wiryosudarmo, rata-rata perempuan disini menikah pada usia muda dan begitu sama-sama tertarik langsung dinikahkan oleh orangtua. Dan pernikahan ini pun dilakukan dengan senang hati walaupun dilakukan di usia belia seperti Ibu Adi Sudarno yang menikah pada usia 13 tahun.

Responden keempat adalah Pak Suratijo berumur 62 tahun yang bekerja sebagai buruh tani yang juga kami temui saat masih duduk-duduk sambil merokok di pinggir sawah. Bertani merupakan pekerjaan pokoknya. Beliau memiliki empat anak diantaranya tiga laki-laki dan satu perempuan. Istrinya adalah seorang ibu rumah tangga yang juga kadang membantunya bertani untuk menambah penghasilan. Saat ditanya apakah beliau mau membantu istrinya bekerja di rumah seperti cuci piring, dan memasak, beliau menjawab tidak mau karena dianggap sesuatu yang “saru” atau menurutnya tidak “wangun” dikerjakan oleh seorang suami karena ini sudah menjadi sebuah tradisi baik dalam keluarga maupun di Dusun Legundi khususnya RT 01 yang menjadi tempat penelitian. Berikut penurutan beliau :

pawon niku ditangani wong siji wae iso, ndadak pirang-pirang”……..”trimo ngelih”

Menurutnya dapur hanya cocok bagi seorang perempuan. Bila dapur bisa dikerjakan satu orang, mengapa harus dua orang yang melakukan. Pak Suratijo pun mengaku lebih baik dia kelaparan dari pada harus memasak, hal ini seperti lebih baik menyiksa diri dari pada harus menanggung malu dan menurunkan kewibawaan seorang suami. Namun beliau mau untuk ikut serta dalam hal pengurusan anak karena menurutnya ini merupakan hal yang wajar bila dikerjakan seorang suami. Tapi menurut penuturan Pak Suratijo walaupun bagaimanapun ia juga merawat anaknya, bahwa anak-anaknya lebih cenderung dekat dengan ibunya ““apa-apa bu, apa-apa bu” sehingga pengurusan anak akhirnya lebih ke ibu.

Responden kelima adalah Bapak Tikuk. Tempat tinggal Pak Tikuk tepat berada di  depan rumah penginapan kami, yaitu di Dusun Legundi RT 01. Dahulu Pak Tikuk pekerjaannya adalah sebagai seorang Kepala Sekolah di SD Pejaten, kecamatan Panggang, kabupaten Gunung Kidul. Sejak beliau pensiun, pekerjaannya sekarang adalah sebagai petani dan mengurus ternak-ternaknya. Saat ini Pak Tikuk tinggal bersama dengan istri dan anak ketiganya. Pak Tikuk mempunyai 7 orang anak, yang terdiri dari 5 laki-laki dan 2 perempuan. Namun keenam anaknya sudah berkeluarga dan bekerja di Kupang dan Jogjakarta. Dan satu putra nomor tiga lah yang masih belum menikah dan pekerjaannya sekarang adalah membantu Pak Tikuk bekerja di sawah dan mengurusi ternak-ternaknya.

Dengan pendapatan yang didapatkan dari pekerjaannya sebagai seorang Kepala Sekolah ditambah juga sebagai petani, dalam hal pendidikan, bapak Tikuk memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilihi hendak bersekolah sampai jenjang apa nantinya. Dan dari ketujuh anaknya ini, 4 anak  memilih untuk bersekolah hingga jenjang Akademi dan 3 anaknya memilih bersekolah hingga jenjang STM.

Walaupun dengan rumah yang sederhana, namun tampak terlihat sekali keharmonisan dari keluarga Pak Tikuk, terlebih pak Tikuk dengan istrinya ini. Walaupun beliau merupakan seorang laki-laki, namun tidak pernah beliau merasa malu untuk membantu pekerjaan rumah seperti istrinya. Bahkan justru beliau merasa malu jika harus serba merepotkan istrinya. Terlihat memang ada sebuah kerjasama yang baik dalam keluarga ini. Pak Tikuk pun memaparkan :

 

“nganti aku tuo, aku ora bakal ngrepoti bojo ku iki mbak” (sampai saya tua, saya tidak akan pernah merepotkan istri saya ini mbak)

 

Hal ini dilakukan karena rasa cintanya yang sangat besar terhadap istrinya. Dalam wawancara yang kami lakukan, pak Tikuk juga menjelaskan kepada kami, bahwa sebagai laki-laki kita tidak boleh membentak-bentak perempuan, karena menurut pak Tikuk perempuan itu harus selalu dilindungi, karena perempuan adalah wanita yang “ringkih” (lemah). Namun walaupun begitu dalam hal mencari keputusan dalam keluarga tetap saja perlu peran antara laki-laki dan perempuan tanpa membedakan-bedakan dalam hal bermusyawarah bersama.

Dari keluarga Bapak Tikuk ini dapat dilihat bahwa dengan pendidikan yang baik yang dimiliki oleh Pak Tikuk, yang terbukti dengan pak Tikuk mampu menjadi seorang kepala sekolah, ternyata turut mendukung pak Tikuk untuk mempunyai cara berpikir yang lebih maju. Terbukti dengan tidak lagi Pak Tikuk tergantung dengan istrinya dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah, serta adanya kebebasan untuk memilih pendidikan yang akan ditempuh oleh ketujuh anaknya, dengan alasan anak-anaknya lebih mengetahui mana yang menurut diri mereka terbaik  atau sesuai dengan bakatnya serta agar anak merasa senang.

Responden keenam adalah Bapak Riyanto. Sama seperti dengan Bapak Tikuk, Bapak Riyanto seorang ketua perkumpulan Tani di Dusun tersebut. Bapak Riyanto tinggal bersama dengan istrinya dan kedua anaknya. Anak Pak Riyanto yang pertama adalah seorang perempuan dan anak yang kedua adalah laki-laki. Bapak Riyanto bekerja sebagai seorang Bendahara Desa dan pekerjaan tambahannya adalah sebagai seorang petani. Sedangkan istrinya bekerja sebagai seorang guru TK.

Dalam hal pendidikan kedua anaknya, pak Riyanto memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih hendak bersekolah dimana dan sampai jenjang apa. Namun pak Riyanto tetap berharap, bahwa anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan paling tidak sampai dengan bangku perkuliahan. Apalagi untuk anak perempuannya ini, karena jika anak perempuannya ini tidak segera lanjut di bangku kuliah, sudah pasti akan segera datang seorang laki-laki untuk melamarnya, dan memang seperti itu lah tradisi di daerah tersebut. Dan sampai dengan saat ini, putrinya sedang duduk di sebuah Universitas Pariwisata di Yogyakarta dan anak laki-lakinya sedang duduk di bangku SD kelas VI.

Bersama dengan istrinya dan kedua anaknya, keluarga dari pak Riyanto ini tampak harmonis sekali. Namun ternyata dibalik keharmonisan dalam keluarganya ini, ketika kami menanyakan mengenai pembagian kerja dalam keluarganya, sangat mengagetkan sekali ketika pak Riyanto justru menjelaskan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan rumah seluruhnya dikerjakan oleh istrinya. Pekerjaan dari pak Riyanto hanyalah mencari uang saja. Walaupun memang dalam urusan ngemong (mengasuh) anaknya pada saat kecil pak Riyanto tetap mau berbagi dengan istrinya, namun untuk pekerjaan-perkerjaan rumah yang lainnya, seperti menyapu, memasak, atau mencuci, sama sekali pak Riyanto tidak mau melakukannya. Bahkan pak Riyanto memaparkan :

 

“trimo ngeleh” (memilih untuk lapar)

 

Beliau menuturkan demikian yang menurutnya lebih baik daripada harus memasak sendiri. Dan ketika kami menanyakan alasannya, pak Riyanto menjelaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah seperti itu adalah pekerjaan seorang perempuan dan sebagai salah satu aparat desa jika beliau harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti itu, nanti wibawa yang beliau miliki dapat hilang di mata masyarakat.

Dan ketika kami mencoba menanyakan keadaan seperti itu kepada istri dari bapak Riyanto, ternyata istrinya justru membenarkan pendapat dari suaminya, bahkan istrinya mengatakan “saru” (tidak layak) jika dilihat oleh masyarakat apabilasuaminya terlihat sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, apalagi ditambah dengan pekerjaan suaminya adalah sebagai seorang aparat desa. Karena istri dari Bapak Riyanto ini juga meyakini bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah adalah kewajiban dari seorang istri untuk melakukannya. Bahkan ia merasa malu kepada tetangga-tetangganya jika pak Riyanto harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti dirinya.

Karena pekerjaan-pekerjaan rumah semua dikerjakan oleh istrinya, maka tidak aneh jika kedua anaknya lebih merasa dekat dengan ibunya. Bahkan karena terlalu dekatnya, ketika istri dari pak Riyanto ini harus melanjutkan perkuliahan sampai dengan S1 sebagai salah satu syarat untuk tetap menjadi guru, tentu saja pekerjaan ganda dirasakan oleh istrinya. Ia harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan keluarganya, setelah itu ia pergi bekerja, dan dilanjutkan dengan pergi kuliah di Yogya, hingga malam baru sampai di rumah, dan ketika sampai di rumah kedua anaknya sudah tidur. Ini menjadikan hubungan yang dulu dekat dengan kedua anaknya menjadi jauh. Dampak dari itu yaitu, putranya tidak mau pergi ke sekolah kurang lebih selama 1 tahun, karena ia menunggu ibunya menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Tampak begitu dekatnya hubungan antara ibu dan anak dalam keluarga ini.

Responden ketuju adalah Ibu Riah. Sama seperti dengan responden yang sebelumnya, responden yang ketuju ini juga bertempat tinggal di paduhuhan Legundi RT 01 RW 03 Desa Girimulyo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunung Kidul. Suami dari bu Riah ini bekerja sebagai seorang petani. Ibu Riah mempunyai empat orang anak yang terdiri dari 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.

Ketika kami wawancarai, ibu Riah sedang berada di depan rumahnya. Beliau sedang mencabuti rumput-rumput yang ada di sekitar rumah. Ketika kami menanyakan mengenai suaminya, beliau menjelaskan bahwa suaminya sedang bekerja di sawah sejak pagi dan baru akan pulang ke rumah sekitar pukul 5 sore. Aktivitas dari bu Riah ini memang banyak dihabiskan di rumah saja, karena ia harus mengurusi segala pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, menyapu, dan mencuci. Apalagi ditambah dengan anak perempuannya yang baru saja melahirkan, bu Riah disuruh suaminya untuk ikut menjaga ananya di rumah.

Dan ketika kami menyakan mengenai ada atau tidaknya keinginan untuk bekerja di luar rumah seperti suaminya, justru bu Riah memaparkan bahwa dari dahulu sampai dengan saat ini pekerjaannya hanya lah cukup memasak untuk keluarga dan merawat anak-anaknya, untuk urusan mencari uang adalah tugas dari suaminya. Bahkan untuk pembagian tugas di keluarganya, suaminya sama sekali tidak mau terlibat dalam mengurusi pekerjaan-pekerjaan di rumah. Sehingga beliau harus melakukan pekerjaan rumah seperti berbelanja di pasar seorang diri. Walaupun beliau harus membawa kelapa dan beras yang begitu beratnya, namun ia tetap melakukannya tanpa bantuan suaminya. Bahkan ketika bu Riah jatuh sakitpun, pekerjaan-pekerjaan rumah tetap beliau lah yang mengerjakan, seperti pernah dahulu beliau mengasuh anaknya yang masih kecil sambil tiduran karena ia sedang sakit.

Namun dengan keadaan yang seperti itu, tidak membuat bu Riah merasa marah dan mengeluh kepada suaminya. Karena bu Riah meyakini bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah adalah kewajiban bagi seoarang perempuan. Ketika kami menanyakan mau atau tidaknya jika suaminya turut membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah, beliau justru tertawa. Bu riah merasa malu kepada tetangga-tetangganya jika suaminya turut membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti dirinya.

Responden selanjtnya adalah Ibu Martodiyono 62 tahun yang kami temui di rumahnya yang sederhana dimana beliau hanya tinggal berdua dengan suaminya. Sedangkan anak tunggalnya seoarng lelaki bekerja di Semarang dan telah memiliki keluarga. Pekerjaan Ibu Marto ini juga seorang Ibu rumah tangga dan terkadang mencari kayu bakar dan membantu suami menjadi buruh tani. menurut penuturan beliau, seorang buruh tani laki-laki dibayar lebih mahal dari perempuan yakni 20.000 rupiah dengan bekerja “memacul” sawah. Sedangkan mendangir dikerjakan oleh kaum perempuan dengan upah sebesar 15.000 rupiah dari pagi hingga sore. Hal ini dikarenakan tenaga laki-laki lebih kuat dan kemampuan untuk mengerjakan lahan pertanian lebih banyak dibandingkan laki-laki. Mungkin hal ini lebih pada persepsi turun temurun bahwa perempuan adalah kaum yang lemah sedangkan laki-laki lebih kuat, sehingga pekerjaan perempuan akhirnya lebih diarahkan pada pekerjaan domestik. Menurut beliau, hal ini sudah tradisi turun temurun sehingga hanya mengikuti saja.

Responden kami selanjutnya adalah Bapak Uyadi dan Fatimah. Bapak Uyadi mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-laki, dan salah satu anak perempunnya bernama Fatimah. Saat kami wawancarai Bapak Uyadi sedang duduk santai sambil bermain bersama dengan cucu-cucunya. Saat ini memang bapak Uyadi tidak dapat bekerja seperti biasanya dikarenakan kakinya sedang mengalami patah tulang karena kecelakaan. Dan sejak pak Uyadi jatuh sakit, pekerjaan di sawah dilakukan oleh istrinya. Tampak bahwa ada pembagian kerja yang baik dalam keluarga ini. Terbukti dengan pak Uyadi dalam posisi sakit mau menjaga cucu-cucunya yang sedang ditinggal bekerja di Yogyakarta oleh orang tuanya, dan istrinya pun mau bekerja di sawah menggantikan suaminya yang sedang sakit. Bapak Uyadi juga menjelaskan bahwa ketika dahulu dirinya tidak sakit pun, beliau tetap mau membantu istrinya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti menyapu. Tampak dalam keluarga ini sudah mulai ada pembagian kerja yang baik.

Dalam kesempatan wawancara tersebut kami pun berkesempatan untuk mewawancarai salah satu anak dari Bapak Uyadi yang bernama Fatimah. Fatimah merupakan anak kedua dari pak Uyadi. Saat ini ia berumur 19 tahun. Pada saat umurnya beranjak 17 tahun, ia sudah menikah dikarenakan ia tidak melanjutkan sekolah lagi, dan tradisi di daerah itu memang jika ada seorang perempuan remaja yang sudah tidak bersekolah lagi, tidak menunggu waktu yang lama, maka akan datang seorang laki-laki untuk melamarnya.

Fatimah sudah mempunyai satu orang anak laki-laki. Dan suaminya bekerja sebagai seorang petani. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan Fatimah adalah menjaga anaknya. Di pagi hari saat bangun tidur sekitar pukul 5 Fatimah bangun lalu memasak, sedangkan suaminya di pagi hari saat bangun tidur yang ia segera bersiap diri untuk bekerja di ladang. Dan disela menjaga anaknya, seperti saat anaknya sedang tidur, Fatimah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu, dan mencuci. Namun saat suaminya sudah pulang dari bekerja, suaminya pun tetap turut mau membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak air.

Tampak dalam keluarga muda ini mulai ada pembagian kerja di rumahnya, walaupun suaminya sebatas membantu memasak air dan menjaga anaknya. Hal ini salah satunya menjadi gambaran kecil di keluarga muda saat ini yang sudah terkena dampak dari globalisasi, sehingga cara berpikir mereka pun semakin maju. Apabila dahulu perempuan selalu merasa bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah hanya merupakan tanggung jawab dirinya, namun saat ini laki-laki mulai mau terlibat dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Responden kami yang selanjutnya adalah bapak Adi Pramono. Beliau adalah seorang ketua RT 01 di Dusun Legundi. Pak Adi bekerja sebagai seorang petani. Dengan rumah yang sederhana, beliau tinggal bersama dengan istrinya dan salah satu anak perempuannya, karena anak pertamanya yaitu seorang laki-laki sudah bekerja di Semarang. Dalam hal pendidikan Pak Adi memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. Terbukti dengan anak perempuannya yang sudah tidak lagi mau untuk bersekolah dan saat ini hanya di rumah saja, namun pak Adi tidak pernah memaksakan agar anak perempuannya tersebut segera bersekolah lagi atau bekerja. Karena menurut Beliau perempuan pada akhirnya nanti akan bekerja di rumah saja, dan hanya sebatas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Untuk itu anak perempuannya ini hanya berada di rumah membantu ibunya mengerkajan pekerkaan-pekerjaan rumah, seperti memasak dan menyapu. Saat wawancara berlangsung beliau juga mengatakan bahwa saat masih belia dulu bapak dari Pak Adi pernah memberi wejangan bahwa seorang anak laki-laki paling tidak harus bersekolah dibanding dengan perempuan. Walaupun perempuan nantinya hanya bekerja di rumah, Pak Adi juga menyadari bahwa pekerjaan perempuan cukup melelahkan, tapi menurutnya ini sudah menjadi kewajiban seoarng perempuan yang akan menjadi seorang istri kelak. Beliau juga memaparkan bahwa pembagian kerja seperti ini tidak pernah dikeluhkan dalam keluarga Pak Adi sendiri khususnya. Saat ditanya mengenai kedekatan anaknya dengan Pak Adi sendiri, beliau menuturkan bahwa anaknya lebih sering dekat dengannya, apalagi kalau masalah uang dan membeli kebutuhan, menurutnya kalau minta apa-apa selalu datang pada Pak Adi seperti penuturan Pak Adi berikut ini :

“apa-apa pak, minta duit,pak, minta pulsa,pak”.

Hal ini membuktikan dan apa yang disadari selama ini bahwa kedekatan antara bapak dan anak hanya sebatas kedekatan ekonomis dalam arti kedekatan yang terjadi ayah identik sebagai pencari nafkah dan ibu memang benar-benar dekat secara emosional.